Status: One-shot (ada dua volume penerus independen)
Cergamis: Sofyan Syarief dan Aditya Saputra
Semenjak Webtoon dan platform komik daring gulung lainnya dapat menancapkan fondasi di benak ribuan pembaca, rasa-rasanya perdebatan atas ‘apa itu komik Indonesia?’ sudah berakhir. Pembaca (dan uang) telah berbicara. Komik yang laku di platform tidak dapat diganggu gugat titik perkara asal gayanya karena keberhasilan mereka yang (akhirnya) berhasil mencipta kembali pasar yang rasanya udah lama hilang
Sejujurnya saya bersyukur perdebatan tersebut (yang sebenarnya agak dungu dari awal) bisa berakhir. Namun apakah kondisi yang ada sekarang sudah memuaskan? Benarkah pertanyaan atas komik Indonesia itu sendiri tidak layak untuk dijawab ? Jawabannya jelas: tidak dan iya.
Berakhirnya perdebatan soal ‘komik Indonesia’ saya syukuri karena seringkali cakupan yang dibahas dari subjek itu tsering kali bersifat superfisial. Yang disorot adalah gaya, atau juga tema kalau kita cukup beruntung ada yang mampu melihat lebih dalam. Gaya ‘manga’ Jepang dianggap sebagai spesies invasif yang menggeregoti ‘komik Indonesia’, lupa bahwasanya gaya di era keemasan komik mengambil pengaruh dari luar juga, utamanya Hong Kong, Eropa, atau Amerika.
Ya, gaya itu sendiri bagian paling superfisial dari yang menentukan identitas sebuah ‘komik’. Di negara lain yang industri komiknya sudah lebih mapan komik beragam gaya dihadirkan dan rasanya itu sama sekali tidak memercikkan perdebatan kesahan suatu komik sebagai bagian dari tradisi mereka. Tidak mengherankan, karena kemapanan industri telah mendewasakan penggiatnya dengan kesadaran identitas ‘komik’ melampaui sekedar bagaimana garis-garis gambar mereka ditorehkan di atas kertas.
Pembaca yang sudah mengikuti blog saya (yang sebelumnya) pasti tidak asing dengan topik ini. Saya tidak perlu membahas lagi panjang lebar bagian mananya dari komik yang seharusnya menjadi penentu ‘identitas’-nya. Singkat kata, kedua pertanyaan beserta jawaban saya di atas bisa begitu karena bahkan di tengah membanjirnya komik (beserta platformnya) di Indonesia, hanya sedikit yang benar-benar mampu menunjukkan identitasnya dan bukan sekedar imitasi komik Jepang atau mungkin sekarang lebih tepatnya Korea.

Di sinilah hadir Methal Pertiwi. Sebuah komik yang diterbitkan secara mandiri dan dijual terbatas, antara langsung dari empunya atau melalui event di kala mereka hadir. Methal Pertiwi berlangsung cukup singkat, hanya 80-an halaman dalam mengisahkan perjalanan Jago Rockk, sang karakter utama yang wajahnya sungguh sebuah tengkorak dalam mewakili bapak angkatnya menghandiri kondangan. Tidak lupa dia ditemani seekor harimau kontet bernama Aung yang tugasnya rangkap tiga: teman, piaraan, dan tunggangan.
Rasa-rasanya sinopsis atau lebih tepatnya deskripsi singkat penuh keabsurdan tadi sudah cukup mengisyaratkan bahwa Methal Pertiwi merupakan laga komedi. Ya, komedi lah yang menjadi raga utama dari komik ini. Sofyan Syarief dan Aditya Saputra tidak sekedar menyisipkan, melainkan menuturkan cerita komedi. Pada setiap kesempatan yang ada mereka akan memberikan punch line tidak terduga. Meski cerita Methal Pertiwi penuh kejenakaan, urusan yang hendak ditunaikan oleh Jago Rockk tetap dijalani secara ‘serius’. Hasilnya sebanyak apapun komedi absurd yang ditampilkan membuat Methal Pertiwi terasa koheren dan akibatnya, justru semakin lucu.
Kita tahu komedi merupakan salah satu genre yang paling populer di Indonesia. Apakah dengan demikian, fokusnya pada komedi yang membuat Methal Pertiwi menjadi komik yang bagi saya memiliki identitas yang (sangat) Indonesia? Tentu tidak. Tidak mungkin semudah itu.
Komedi secara sendiri tidak cukup. Di era global seperti ini kita sudah lazim berbagi humor yang aslinya berasal dari belahan dunia lain. Di sinilah Methal Pertiwi berjaya dengan menghadirkan humor dan guyonan yang sekiranya hanya kita yang dapat menemui makna punch-line dari lingkungan dan keseharian sekitar. Komedi dialog hingga aksi komedi di belakang layar Methal Pertiwi dapat memancing gelak tawa pembaca justru karena kedekatannya membuat kita sadar akan keabsurdannya.
Sebagai raga, komedi adalah bagian dalam dari Methal Pertiwi, kerangkanya. Maka bagian luarnya yang merupakan kulit mencakup elemen visualnya. Tidak, saya tidak akan membicarakan soal gayanya di sini. Yang saya maksud tentu saja visual dari karakter, dan setting di mana Methal Pertiwi pun tidak luput dalam mengukuhkan identitasnya. Kita bisa melihat bagaimana Jago Rockk yang mempunya tampang serupa karakter di sampul album musik death metal mengenakan sarung. Di dalam ceritanya kita disuguhkan estetika dan elemen fusion antara yang kuno seperti pakaian polisi (dan Jago Rockk sendiri) yang bertelanjang dada dengan yang modern seperti polisi itu sendiri atau keseluruhan rupa dari acara kondangan yang dihadiri oleh Jago Rockk. Oleh karenanya, bagi saya di sini Methal Pertiwi cukup, bila tidak harus, dipuji karena keunikan percampuran dalam visual yang dihadirkannya.

Rasa-rasanya pada titik ini sudah jelas bagaimana Methal Pertiwi bisa menghadirkan identitasnya melalui komedi dan visual. Tapi ada alasan kenapa saya mengatakan bahwa kedua hal tersebut adalah raga. Karena ada hal lain yang bagi saya merupakan jiwa dari Methal Pertiwi yang pada akhirnya benar-benar mengukuhkan identitasnya sebagai komik yang tidak dapat disalahkelirukan ke-Indonesiannya. Hal yang saya maksud ialah ‘niatnya dalam merayakan budaya pop 80an dan 90an’.
Methal Pertiwi mustahil ada bila saja bukan karena Sofyan Syarief dan Aditya Saputra tidak ingin merayakan budaya pop Indonesia 80an dan 90an yang mereka segani, dengan Sofyan Syarief khususnya pada musik rock era tersebut. Apa-apa yang ada di Methal Pertiwi dibentuk berdasarkan imaji dari budaya pop yang pastinya dicintai oleh keduanya. Jago Rockk itu sendiri, ayahnya, hingga kepingan-kepingan lagu yang kerap kali diselipkan sebagai komedi di dalam narasinya. Bahkan nama dari Methal Pertiwi sangat gamblang sebagai pernyataan bahwasanya komik ini memang sebuah perayaan (yang jenaka) atas budaya pop tersebut utamanya musik rock.
Ada satu perkara menarik yang sadari dari ini. Musik rock jelas bukan budaya asli Indonesia. Tapi di saat yang bersamaan, bukankah skena subbudaya rock di Indonesia memiliki keunikannya sendiri? Bukankah itu artinya Methal Pertiwi secara paradoks telah mengangkat sesuatu yang lokal meski aslinya bukan berasal dari Indonesia? Bagi saya paradoks ini merupakan bukti dan juga bagian dari yang mengukuhkan identitas Methal Pertiwi. Karena memang benar adanya bukan, bahwa subbudaya rock Indonesia merupakan milik kita sendiri? Sofyan Syarief dan Aditya Saputra di sini telah memperlihatkan bagaimana budaya Indonesia itu sesungguhnya sangat luas bila saja kita mau melepaskan kacamata kuda yang mengesankan bahwa budaya kita hanya terdiri dari pewayangan.
Pada akhirnya keseluruhan dari Methal Pertiwi tidak akan dapat berjalan begitu rapat dan sempurna bila saja bukan karena ketulusan kedua cergamisnya dalam menuturkan ceritanya. Maka dari itu tidak mengherankan apabila Methal Pertiwi tidak terlalu tersita waktunya dalam menghadirkan perayaan yang menjadikan budayanya kelewat berada di depan. Sofyan Syarief dan Aditya Saputra mengambil premis yang sangat sederhana, yakni menghadiri kondangan hanya karena keduanya sering menghadiri pernikahan orang lain untuk makan gratis. Ketulusan inilah yang membuat Methal Pertiwi dapat dinikmati oleh semua orang, tidak hanya memancing gelak tawa dari mereka yang mendalami dan malalui era budaya pop yang sama dengan sang kedua cergamis.

Saya rasa ketulusan yang sama pula yang membentuk gaya gambar Methal Pertiwi. Sofyan Syarief terlihat bagaimana ia tidak peduli darimana asal pengaruh di gambarnya. Teknik dan gaya apa pun akan dipergunakannya selama itu memenuhi kebutuhannya dalam menceritakan laga komedi komiknya. Karena baginya (dan memang seharusnya) itu lah terpenting bagi seorang cergamis: menceritakan kisah dengan apapun yang dibutuhkan.
Sebenarnya saya merasa bersalah dan tidak pantas telah memfokuskan review dari Methal Pertiwi pada aspek dari identitas ke-Indonesiannya. Pembahasa seperti terasa kontraproduktif dan saya khawatir kualitas dari Methal Pertiwi pada aspek eksekusi komedinya menjadi nomor yang kesekian. Tapi pada akhirnya saya merasa Methal Pertiwi merupakan percontohan yang terbaik pada aspek tersebut, meski tentu saja bukan satu-satunya. Begitu banyak keunikan di Methal Pertiwi lahir dari kedua cergamis yang mengambil langsung material cerita mereka dari lingkungan sekitar, termasuk juga eksekusi komedi itu sendiri.
Komik seperti Methal Pertiwi lah yang seharusnya dapat mematikan perdebatan dari identitas ‘komik Indonesia’ seutuhnya. Tapi mungkin karena distribusinya yang terbatas, Methal Pertiwi tidak cukup menggapai banyak mata untuk menjadi suara pamungkas atas perdebatan tersebut. Cukup sedih dan menggelikan, karena sebelum terbit ulang di 2011, Methal Pertiwi sebenarnya telah terbit pertama kali tujuh tahun silam.
Karena itu Methal Pertiwi sepatutnya dikenal dan dirayakan oleh lebih banyak orang. Tentu bukan karena dari keunikannya dan identitasnya yang kuat saja. Melainkan utamanya sebagai komik laga komedi yang pada intinya begitu menghibur dan mengundang gelak tawa tidak berkesudahan.
