
Kearifan lokal. Frasa ini sepertinya sering didengar belakangan ini, utamanya di dunia perkomikan. Dia seperti mesias atau juru selamat, selalu dicari karena keberadaannya dianggap akan melindungi kita dari marabahaya. Kehadiran kearifan lokal dianggap dapat menyelamatkan industri komik nasional dari kepelikan-kepelikan nan membelit. Alhasil, komikus seolah diberi beban moral untuk melahirkan mesias-mesias baru agar zaman keemasan menyongsong industri komik Indonesia.
Ketika membicarakan kearifan lokal, wayang acap kali dijadikan contoh. Entah ada berapa ilustrasi penggambaran ulang dari sosok klise bernama Gatot Kaca, seolah-olah hanya karakter itu saja dalam epos Mahabharata yang bisa diangkat sebagai subjek. Sekarang wayang sudah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya elemen kearifan lokal yang dapat diterima pembaca. Namun, subjek kearifan lokal lain saya rasa tidak bakal jauh-jauh dari budaya “fisik” yang memunyai wujud visual.
Apakah benar kearifan lokal hanya berupa pakaian, tarian, atau mitos? Budaya, yang sebenarnya bagian utama dari kearifan lokal yang dimaksud tentu tidak sedangkal itu. Dengan demikian, pada artikel pertama dari serial Kearifan Lokal ini saya akan mendefinisikan apa itu ‘kearifan lokal’.
Saya akan membicarakan kearifan lokal sebagai konsep netral yang dapat berlaku secara universal. Kearifan lokal saya definisikan sebagai elemen budaya kontekstual. Dengan demikian konsep ini tidak dapat terikat pada satu konteks budaya saja, dan untuk dapat memahaminya lebih lanjut, perlu disadari bahwa kearifan lokal dapat ditemukan di semua media tanpa kecuali, terlepas dari asal-usulnya.
Apakah artinya manga Jepang atau kartun Amerika mengandung kearifan lokal yang sesuai dengan konteks negara asal mereka? Tentu saja. Pada dasarnya manusia akan lebih dulu menceritakan pengalaman dirinya sendiri atau pengalaman yang familiar. Sadar atau tidak, seorang penulis atau komikus akan menyelipkan elemen-elemen pengalaman hidup yang merupakan kearifan lokal dari budaya asal mereka.
Bagi saya, kearifan lokal memiliki empat tingkat. Setiap tingkatnya mengandung nilai-nilai budaya kita dari yang kasat mata hingga yang bersifat ideal di lapisan terdalamnya. Keempat tingkat ini dapat berdiri dengan sendirinya, tidak bergantung pada tingkatan yang lebih tinggi.
Visual
Tingkat pertama merupakan elemen budaya yang memiliki representasi wujud visual. Dia biasanya memiliki nama yang ketika seseorang menyebutkannya dapat langsung terbayang wujud dari hal yang dimaksud. Contoh dari Indonesia berupa wayang dan batik, dari Jepang kita mengenal samurai dan kimono, dan kita tahu Amerika memiliki koboi dan western.

film yang aslinya hadir dan populer di Eropa
Karena dia memiliki sebuah wujud visual yang mencolok, kearifan lokal semacam ini yang paling mudah dijumpai dan juga paling banyak dipakai para penulis untuk karyanya. Dia mudah dikenali sehingga orang awam sekalipun akan langsung mengerti hanya dalam sekali lihat. Semisal tidak pun, keunikan dari wujudnya sendiri sudah memberikan kesan asing yang di beberapa kesempatan justru semakin menarik minat pembaca. Umumnya kearifan lokal tingkat pertama mudah untuk diadaptasikan visualnya ke gaya yang berbeda.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kearifan lokal macam itu. Familiaritas akan membantu pembaca untuk mengenali elemen budaya dengan cepat. Tapi berpaku pada aspek visual suatu elemen budaya saja hanya akan berdampak pada pemahaman kearifan lokal yang dangkal. Dia hanya akan terbatas di tempelan belaka, sehingga pembaca yang jeli akan sadar bila kearifan lokal ini dihapus, tidak akan ada perubahan yang berarti dalam cerita yang sedang dituturkan.
Maka saya akan lanjut menjelaskan wujud kearifan lokal berikutnya: ritual.
Ritual
Ritual yang dimaksud di sini bukan sekadar merujuk pada prosesi keagamaan saja, melainkan sebagai kebiasaan rutin dalam suatu masyarakat atau budaya. Dia dilakukan pada interval waktu tertentu dan sering kali menjadi bagian identitas dari suatu periode waktu. Mudahnya saja, di Indonesia momen bulan Ramadhan dan Idul Fitri setelahnya ditandai dengan ritual puasa dan lebaran. Musim panas di Jepang identik dengan festival. Amerika dengan Perayaan Kemerdekaan setiap 4 Juli-nya.
Kearifan pada tingkat ini mengambil wujud yang lebih subtil. Memang ritual memiliki penggambaran visual, tapi dia memiliki simbol-simbol yang abstrak. Dia dapat mengambil wujud yang sangat berbeda satu sama lain, tergantung dari penggambaran yang diambil penulis atau komikus. Namun dia disatukan oleh esensi dari ritual tersebut.

terlepas dari latar belakang agama ataupun sukunya
Hal ini yang kemudian menjadikan ritual menjadi kearifan lokal yang lebih subtil. Orang yang familiar dengannya akan merasakan semacam kedekatan sehingga dia bisa jadi tidak mengenalinya sebagai suatu elemen budaya yang menonjol.
Ketika bertemu dengan kearifan lokal semacam ini, mereka akan mencari pengalaman atau makna, sementara ritualnya sendiri hanya menjadi “pembungkus”. Lain halnya dengan orang asing, aspek dari ritual sendiri itu akan lebih tampak, menjadi sebuah elemen asing yang akan memikat rasa penasaran mereka. Seringkali signifikansi dari ritual sulit mengerti oleh orang asing, meskipun penulis atau komikus yang handal dapat menggunakan ritual-ritual ini untuk menyampaikan pengalaman atau makna yang dapat dimengerti secara universal.
Demikian artinya, ritual memiliki kontekstualisasi budaya yang lebih kuat daripada kearifan lokal tingkat sebelumnya. Dia sudah bermain pada elemen yang sublim yakni pengalaman atau makna. Ketika dieksekusi dengan baik, ritual yang digunakan tidak akan bisa dihapus tanpa mengubah esensi dari ceritanya itu sendiri.
Apakah kearifan lokal dapat mengambil bentuk yang lebih subtil lagi? Bisa.
Norma
Dia mewujudkan diri pada perilaku karakter. Perilaku tentunya lebih merujuk pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang seringkali kita sendiri tak sadar lakukan. Cara makan, cara bertransportasi, atau bahkan hingga urusan batuk-bersin dapat menjadi bagian dari perilaku karakter yang mencerminkan kearifan lokal. Sebagai contoh, sebagian besar orang Indonesia akan menyebut flu sebagai masuk angin, atau bagaimana orang Jepang mudah ‘kebetulan’ bertemu hanya karena jadwal berangkat kendaraan umum yang tepat waktu.
Sebenarnya norma akan berwujud pada karakter secara alamiah terdapat pada setiap karya. Demikian adanya karena seorang penulis atau komikus semestinya akan merujuk lingkungan mereka sendiri dalam membangun perilaku dan kebiasaan karakter dalam suatu cerita. Justru hanya dengan usaha sengaja saja perilaku karakter dapat berbeda dari latar belakang yang dimiliki penulis, semisal dia menggunakan setting asing sehingga perilaku lain digunakan agar tidak terjadi disparitas.
Dalam situasi tertentu norma yang mencerminkan kearifan lokal bukan saja tampak pada kebiasaan atau hal-hal yang remeh, namun juga lakon atau perbuatan yang lebih besar. Keputusan yang secara sadar diambil suatu karakter sering kali mencerminkan latar belakang budaya yang dia miliki (atau milik si penulis/komikus). Meskipun tentu saja ada banyak faktor selain budaya yang mempengaruhi lakon seorang karakter, terutama sifat dan pengalaman.

Bagi saya, norma ini yang seharusnya mengambil bagian besar dalam mencerminkan kearifan lokal suatu karya, terutama ketika setting yang digunakan berada pada setting lokal asal karya tersebut. Dia yang akan secara lebih baik mendekatkan karakter dengan pembaca dalam memberikan sebuah pengalaman yang familier, sebuah pengalaman yang mencerminkan bahwa budaya di mana karakter tersebut berada merupakan budaya yang juga dihuni oleh pembaca.
Di bawah lagi, ada yang lapisan terdalam. Esensi budaya yang dapat mempengaruh semua hal di atas secara dashyat: Zeitgeist.
Zeitgeist
Zeitgeist merupakan jiwa suatu masyarakat atau budaya pada periode masa tertentu. Dia merupakan jiwa yang dimiliki atau menguasai suatu bangsa dalam menghadapi sebuah masalah atau menjalani perjuangan besar. Zeigeist tidak jarang menjadikan sebuah karya mencapai status seminal dan penanda suatu periode, karena dapat menggambarkan sebuah masyarakat pada zaman tersebut.
Zeigeist ini merupakan elemen budaya paling muktahir yang dapat mencerminkan suatu kearifan lokal. Tidak jarang zeitgeist begitu kuat sehingga membentuk pola karya fiksi yang lahir pada periode waktu tersebut. Dia bekerja pada alam bawah sadar masyarakat dan seringkali menentukan perilaku keseharian mereka dalam menempuh hidup. Hanya peristiwa bersejarah yang seminal seperti perang, bencana alam besar, atau rezim pemimpin yang membawa perubahan drastis yang sanggup menggantikan zeitgeist.

masyarakat Jepang pada tenaga nuklir
Sebagai contoh, ambil saja zeitgeist masyarakat Jepang pasca Perang Dunia II di mana mereka harus membangun ulang dan hidup di bawah cengkeraman rasa takut pada bom atom. Rasa takut tersebut kemudian menghasilkan Godzilla sebagai alegori kekuatan nuklir yang dapat begitu merusak. Di saat yang bersamaan, Osamu Tezuka menggubah komik Astro Boy dengan memberi nama Atom bagi karakter utamanya yang merupakan robot tercanggih dalam ceritanya. Hal ini dilakukan Tezuka sebagai alegori bahwa kekuatan nuklir merupakan masa depan, dan masyarakat Jepang tidak boleh takut apabila mereka memang ingin bangkit kembali ke kancah peradaban dunia.
Indonesia tentu saja memiliki zeitgeist sendiri. Pada tahun 1945 dan beberapa dekade setelahnya, kita melihat bagaimana sastra-sastra anti-kolonial banyak merebak sebagai perwujudan zeitgeist kemerdekaan yang dimiliki bangsa Indonesia pada saat itu. Keruntuhan Orde Baru pun memberi zeitgeist baru bagi bangsa ini dalam mengungkap peristiwa yang memulai periode kelam tersebut, sehingga tidak mengherankan begitu banyak karya yang berkaitan dengan tahun 1965 muncul akhir-akhir ini.

yang ingin mengungkap periode sejarah kelam tahun 1965
Setidaknya bagi segilintir sastrawan….
Tidak semua karya harus mencerminkan zeitgeist di masa hidup si penulis atau komikus. Beberapa karya hadir untuk menghibur dan tidak ada yang salah dari hal tersebut.
Namun bagi saya, suatu karya memiliki nilai lebih bila dia mengandung zeitgeist di masanya, atau zeitgeist yang pernah berlaku di masa lalu. Meskipun zeitgeist seringkali memiliki nilai universal, detail-detail yang terkandung dalam zeitgeist itu akan unik bagi bangsa yang mengalaminya, menjadi sebuah refleksi mutakhir dari kebudayaan suatu masyarakat.
Demikian definisi dan wujud yang saya berikan pada konsep kearifan lokal. Meski saya di beberapa kesempatan seperti mengesankan satu wujud kearifan lokal lebih baik dari yang lainnya, perkara yang ada tidak semudah itu. Sebelum membicarakan bagaimana seharusnya kearifan lokal ditangani, saya akan terlebih dahulu masuk ke artikel berikutnya: Kearifan Lokal – Obsesi (Komik) Indonesia.