
Di bagian-bagian sebelumnya saya sudah bicarakan mengenai definisi komik Indonesia dan masalah identitas yang inheren dalam karya-karya yang menjadi bagiannya. Dan dengan sangat ngaret akhirnya kita tiba pada penutup serial artikel ini.
Akan ke mana komik Indonesia, setidaknya dalam satu dekade ke depan? Bertahan hidup seadanya? Redup lagi? Mati? Makin jaya?
Ada alasan untuk semua argumen, karena perkembangan industri komik lokal kita makin hari makin menunjukkan optimisme serta tantangan baru. Mari kita kupas.
Dalam beberapa tahun terakhir skena perkomikan lokal memang sedang dalam arus naik. Komikus baru bermunculan, budaya fandom merangkak naik mengikuti festival-festival yang menjamur di berbagai kota, beberapa komikus mulai bisa mejeng di koran dan TV nasional, industri mulai menggeliat dengan munculnya satu-dua majalah komik berseri.
Dalam beberapa tahun terakhir skena perkomikan lokal memang sedang dalam arus naik. Komikus baru bermunculan, budaya fandom merangkak naik mengikuti festival-festival yang menjamur di berbagai kota, beberapa komikus mulai bisa mejeng di koran dan TV nasional, industri mulai menggeliat dengan munculnya satu-dua majalah komik berseri.
Masalahnya, tidak ada organisasi yang jelas di luar majalah-majalah komik tadi. Komikus terpencil sendiri-sendiri bak kepulauan-kepulauan kecil di Oceania sana. Fandom masih amat sangat mengikuti tren apa yang sedang ‘in’ di luar sana. Komikus ketika mejeng di media, membuat artikel/himbauan, atau mengadakan seminar hanya membicarakan sesuatu yang amat, amat, amat, amat, amat sangat standar. Hal-hal remeh yang bisa dipelajari dengan sekedar googling atau beli buku panduan seperti apa itu konflik atau cara menggambar anatomi, Tugas untuk membimbing komikus pemula dan mengejawantahkan komik lokal pada masyarakat jatuh ke… majalah-majalah komik ini.
================
Stop, mulai dari paragraf ini, saya Shengar (atau sekarang, Han Asra) akan mengambil alih. Dikarenakan alasan kesibukan, dan perkembangan hidup, Dantd tidak dapat menyelesaikan artikel ini tanpa terjadi konflik kepentingan. Namun karena tidak ingin membiarkan pembaca tergantung rasanya penasarannya seperti Valve memperlakukan penggemarnya dengan Half-Life 3, saya berinisiatif untuk menyelesaikan bagian terakhir ini. Tentu saja akan ada banyak perbedaan dari substansi artikel yang dikehendaki oleh Dantd dengan pendapat saya sendiri meskipun sebelumnya saya sudah menanyakan pangkal utama dari artikel ini. Saya harap tulisan ini tidak berlawanan dengan subtansi dua artikel yang sebelumnya.

Berangkat dari paragraf terakhir, bisa dilihat bagaimana perkembangan industri komik itu sendiri berjalan tanpa arah yang jelas. Mau bagaimana model bisnis yang akan digunakan? Work flow macam apa yang akan dijadikan standar industri? Berapa besaran gaji yang sesuai untuk komikus profesional yang bekerja penuh waktu? Perlu adakah asistensi dan kalau iya berapa tarif yang pantas bagi asisten? Serangkaian pertanyaan fundamental ini yang akan menjadi dasar bagi industri komik yang notabene sangat padat karya dan menuntut adanya profesionalitas (yang meskipun tidak bisa terlalu kaku). Tanpanya, industri komik tidak akan dapat berkembang secara berarti karena ketimpangan tarif yang diberikan bagi komikus dan juga kualitas komik yang mereka gubah.
Permasalahan ini sesungguhnya dapat diselesaikan dengan mudah melalui sebuah simposium nasional. Para komikus dan pelaku industri berkumpul untuk membicarakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental di atas. Jawaban yang didapat tidak perlu menjadi aturan kaku yang mesti ditetapkan melalui ukuran yang saklek, secara dia hanya berfungsi sebagai pemberi arah dan tidak boleh membatasi kreativitas industri komik itu sendiri. Ketika standar sudah ditetapkan, proses berjalannya industri komik untuk menghasilkan paling konsistensi dalam menelurkan karya-karya yang lumayan kualitas akan lebih mudah untuk dilakukan.
Namun perkara ini tidak semudah itu dilakukan. Indonesia, mungkin sebagai cermin dari kondisi negaranya sendiri memiliki lanskap yang sama beragamnya dalam soal komik baik dari pendekatan penuturan cerita, artstyle, hingga format komik. Ada mereka yang terpengaruh oleh gaya gambar dan penuturan ala komik DC dan Marvel dari Amerika Serikat. Tidak jarang juga ditemui penggubah yang meghasilkan komik-komik petualangan yang mengingatkan kita pada komik petualangan dari Eropa. Lalu terdapat berbagai komik silat yang jelas dipengaruhi oleh komik-komik serupa yang berasal dari Hong Kong. Terakhir tentu saja, komik ala manga yang sangat dominan dewasa ini berkat serbuan komik dari jepang pada era 90-an. Serangkaian banyak pengaruh ini sesungguhnya adalah hal yang baik ketika mereka bercampur menjadi satu dan mempengaruhi satu sama lain hingga menghasilkan gaya tunggal atau beberapa gaya yang khas. Sayangya keragaman gaya itu justru menjadi laut yang mengisolasi para penggubah komik (antar generasi) sehingga mereka terpencil bagai pulau-pulau di oseania, menciptakan gaya masing-masing. Perlu diingat perbedaan ini bukan hanya artstyle, namun juga bisa hal-hal yang lebih sublim seperti pendekatan pada komiknya itu sendiri, format cerita, dan lain sebagainya.
Ditambah dengan ego, perbedaan ini kemudian mulai memecah (beberapa) komikus ke perkubuan politik yang picik. Dengan keukeuh mereka merasa pendekaan yang dipegang sebagai solusi atas kemandekan industri komik dan menyalahkan pendekatan lain sebagai penyebab kemandekan tersebut. Belum lagi persoalan pribadi yang disimpan menjadi dendam satu sama lain. Simposium yang diharapkan tidak akan terjadi, dan malahan bisa menunjukkan bagaimana terpecahnya komikus Indonesia itu sendiri ketika masing-masing kubu mengandakan simposium mereka secara terpisah.

Marilah sejenak kita tinggalkan persoalan politik remeh para komikus dan melihat perkembangan industri itu sendiri dengan kaitannya pada pembaca. Dalam persoalan itu pun, industri komik kita masih mengarah ke dalam. Komik-komik yang ada dipasarkan (bukan dibuat, karena sesungguhnya permasalahan yang satu ini relatif dan dapat menjadi topik tersendiri nantinya) untuk peminat komik. Event dan pasar komik dihadiri oleh wajah yang ‘itu-itu’ saja (walaupun nampaknya ada perkembangan secara perlahan). Pada akhirnya komik-komik yang sudah maupun yang akan ada menjadi berebutan audiens niche yang jumlah sudah terbatas. Meskipun saya percaya komik bukan lah barang yang saling mensubtitusi satu sama lain, ada batasan sebarapa banyak orang-orang yang itu saja dapat membeli komik.
Industri komik harus dapat berkembang keluar dari niche-nya yang kecil sekarang, karena itu akan memberi manfaat bagi semua belah pihak. Uang yang mengalir lebih banyak itu sudah pasti. Namun komikus tidak hanya akan bertambah penghasilannya, melainkan juga akan lebih terbuka ruang kreativitasnya untuk menggubah komik dengan tema yang tidak lazim atau unik. Dengan demikian, pembaca pun mendapat pilihan komik lebih banyak untuk dibaca. Untuk bisa menjadi beragam, industri membutuhkan fondasi dan siklus pasar yang kuat.
Mengapa saya menekankan keragaman di sini? Karena keragaman ini merupakan sebuah forte yang dapat menjadi andalan bagi industri kita. Pertama sudah saya sebutkan di paragraf sebelumnya bagaimana komikus kita banyak mengambil pengaruh dari berbagai kiblat. Kemudian, dari tema pun komik-komik kita cenderung memiliki tema yang berbeda satu sama lain. Misal saja, ketiga majalah komik komersial yang ada ketika opini dituliskan, yaitu Re:On, Shounen Fight, dan Kosmik, menghadirkan komik-komik yang beragam. Bahkan di dalam majalah masing-masing pun, terdapat perbedaan yang terlihat satu sama lain dari temanya.
Satu-satunya pilihan agar forte dari industri komik kita tersebut hanya tercapai melalui pasar komik yang luas, melebihi dari niche sekarang yang nampaknya telah memberi zona nyaman bagi penerbit besar. Industri komik Jepang, yang notabene terkenal akan keragaman konten yang luar biasa, berdiri diatas sebuah industri mapan yang memiliki pasar sangat besar. Penjualan saja, angka 10 ribu hingga 20 ribu dianggap biasa dan bahkan kecil untuk beberapa genre tertentu. Apabila industri komik kita tidak ingin atau tidak mampu keluar dari niche nya, niscaya kita akan terjebak pada kemandekan yang dialami industri komik Amerika Serikat: berkutat pada tema yang sama, rehash cerita serta karakter secara tidak jelas tanpa akhir, semua dengan mempertahankan canon ceritanya agar tidak membuat marah penggemarnya.

Lalu bagaimana dengan permasalahan yang pertama? Bagi saya sendiri, hal tersebut nampaknya telah menjadi suatu kepelikan yang pada saat ini akan sulit ditemukan jalan keluarnya selama para komikus dan penggiat industri yang berpengaruh masih berpegang pada ego masing-masing. Jadi pribadi bagi saya yang merupakan seorang pengkarya, alangkah baiknya bagi setiap individu, komikus dan penggiat industri itu sendiri fokus sepenuhnya dalam menghasilkan karya terbaik yang dapat dipenuhi oleh kemampuan mereka masing-masing. Saya percaya cerita yang benar-benar bagus, terlepas dari gaya gambarnya, merupakan sebuah universal appeal yang akan mampu memikat siapa pun.
Tapi cerita bagus itu sendiri sebenarnya tidak akan membantu banyak dengan sendiri. Butuh satu faktor penting lagi yakni pemasaran. Karena lagipula, bagaimana cerita bagus dapat menjadi populer apabila khalayak tidak pernah mengetahui dia eksis? Sayangnya keengganan sebuah penerbit besar memberi sepeser uang untuk memasarkan komik (bahkan buku populer sekalian), maka tanggung jawab ini mau tidak mau jatuh ke pundak para penggiat industri (komikus sebaiknya fokus berkarya, meski menjadi poin tambahan apabila dia bisa memasarkan komiknya).
Saya rasa apabila jujur, komik dengan cerita yang bagus akan dapat dipasarkan kepada siapapun dan oleh siapapun, terutama mereka yang turut aktif di dalam industri ini terlepas dari perbedaan yang ada. Ketika cerita bagus bertemu dengan pemasaran yang mumpuni, di situlah kemudian industri komik Indonesia mendapat harapan untuk sebuah arah perkembangan yang jelas.
Kembali lagi kepertanyaan yang menjadi judul pos ini: (Akan) Ke Mana Komik Indonesia? Tidak tahu, bagi saya arah industri kita masih memiliki arah yang tidak jelas sampai saat tulisan ini dibuat. Pada saat tulisan ini dibuat, komik Indonesia sedang mengalami perkembangan yang bagi saya cukup cepat, namun sayangnya hingga saat ini hanya ke arah dalam. Agar komik Indonesia dapat memainkan forte nya dalam hal keragaman, dia harus berkembang keluar dalam artian meraih pasar yang di luar dari niche nya saat ini.
Mungkin pembaca sekalian merasa ada banyak hal dari artikel ini yang tidak dijelaskan secara lebih mendetail. Saya pun merasa demikian, dan berpikir alangkah baiknya apabila hal-hal tersebut mendapatkan jatahnya sendiri, menjadi bagian dari rangkaian artikel besar yang membicarakan persoalan komik (dan tentu saja penulisan) Indonesia. Seperti misalnya saja soal pemasaran dan cerita yang bagus, keduanya dapat dirubah menjadi rangkaian artikel yang lebih komprehensif.
Untuk memulainya, saya akan menulis sebuah serial artikel yang membicarakan salah satu topik populer di komik Indonesia: kearifan lokal. Saya berdoa agar terhindar dari tarsok sehingga kawan-kawan yang tertarik secara lebih lanjut tidak perlu lagi menunggu lama seperti artikel ini.