[Resensi] Lelaki Harimau

Judul : Lelaki Harimau
Pengarang : Eka Kurniawan
Penerbit :  Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2004
Genre : Surrealism
Tebal : 198
Sinopsis
Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas.

Ulasan

Ulasan kali ini bisa dibilang cukup spesial. Lelaki Harimau sudah pernah saya baca di tahun 2016 dan sebagai bagian dari menghidupkan kembali blog sebelumnya, begitu pula ulasannya. Saya memulainya terlebih dahulu dengan kumpulan cerpen pertamanya, lalu berencana menjadikan ulasan kumcer tersebut sebagai landasan bagi ulasan Lelaki Harimau. Sayang rencana hanya menjadi rencana karena pada akhirnya draft post Lelaki Harimau dibiarkan kosong, berisikan sampul dan informasi dasar saja, selama dua tahun hingga hari ini.

Sebenarnya ingatan saya nggak jelek dan saya masih bisa mengingat kesan-kesan yang saya rasakan selepas usai membaca Lelaki Harimau. Tapi pembacaan saya sudah lewat lebih dari setahun, dan kesan yang menempel hanyalah titik-titik penekanan yang hendak saya sampaikan di ulasan, bukan keseluruhan dari Lelaki Harimau sekaligus juga hubungannya dengan Corat-Coret di Toilet. Tentu saja yang kedua itu sangat gawat mengingat di ulasan Corat-Coret di Toilet saya sudah menjanjikan semacam kehubungannya dengan Lelaki Harimau dalam keriwayatan karya Eka Kurniawan. Mau nggak mau, saya harus membaca ulang Lelaki Harimau demi ulasan ini.

Ini bukan pertama kali saya membaca ulang sebuah novel. Kalau kamu lihat dari riwayat Goodread Challange saya, pasti ada beberapa judul yang saya baca tiap tahun. Tapi untuk menjadikan pengalaman dari perbedaan kesan yang dirasakan, itu belum pernah sama sekali saya lakukan. Dulu saya hendak menulisnya setelah membaca ulang Jonathan Strange&Mr. Norrel untuk pertama kali, hanya saja tetap menjadi wacana. Di kesempatan ini wacana tersebut rasanya bisa jadi kenyataan bersamaan dengan ulasan Lelaki Harimau. Makanya ulasan ini spesial karena itu

Membaca dari Corat-Coret di Toilet lalu lanjut ke Lelaki Harimau akan memperlihatkan perubahan karya Eka Kurniawan. Perpindahan panjang prosa dari cerpen ke novel (pendek) memberinya ruang yang nggak dapat ditunjukkan oleh Eka Kurniawan sebelumnya. Namun perubahan yang lebih nyata adanya ialah gaya tulisan Eka dari Corat-Coret di Toilet secara keseluruhan ke Lelaki Harimau. Perubahan gaya ini yang tadinya saya hendak jadikan penyambung antar keduanya di rancangan resensi yang lama.

Di Lelaki Harimau gaya tulisan Eka Kurniawan berubah. Nggak drastis, namun jelas rasanya ketika dibaca apalagi seperti saya yang langsung loncat dari Corat-Coret di Toilet. Diksi yang digunakan Eka Kurniawan dalam prosanya lebih beragam. Banyak metafora digunakan dalam narasi. Struktur kalimatnya terasa lebih puitis berkat kombinasi diksi dan penyusunannya itu sendiri. Jelas di sini Eka Kurniawan mengkehendaki tulisannya berubah. Singkat kata, lebih nyastra.

Ketika pertama kali membaca Lelaki Harimau, perubahan Eka Kurniawan tersebut nggak saya sambut dengan positif. Utamanya karena tulisan Eka di sini terasa tidak alamiah sebagaimana sebelumnya. Ketidaklaziman prosanya lebih kentara berkat pemilihan diksinya. Penyusunan kalimatnya menciptakan struktur yang menimbulkan keambiguan. Metafora yang digunakan pun seringkali berasa di luar tempatnya. Keburukan pergeseran gaya tulisan Eka Kurniawan begitu kentara di seperlima awal novel, dan sebegitu janggalnya hingga ini yang menempel di kepala saya hingga sekarang. Kesannya di saya, Eka Kurniawan berusaha kelewat keras agar karyanya yang satu ini dianggap sastra.

Namun usai membaca lagi dua tahun kemudian, pendapat saya berubah 180 derajat. Bagi saya seperlima awal Lelaki Harimau masih merupakan bagian terburuk dari transformasi Eka Kurniawan. Selepas dari bagian tersebut saya menikmati tuturan narasi Lelaki Harimau lewat gaya tulisan barunya lebih baik dari yang kali pertama. Gaya tulisannya membawa narasi surrealis Lelaki Harimau dapat tercapai sedemikian rupa. Tanpanya, Lelaki Harimau nggak akan menjadi karya yang sedemikian menawan.

Sadarnya saya akan keterikatan gaya tulisan baru Eka Kurniawan dengan surrealisme narasi Lelaki Harimau memang baru saya sedari selepas membacanya lebih hati-hati. Strukturnya kalimatnya yang lebih puitis, pemilihan dan penyusunan diksinya yang sedikit keluar dari kelaziman berbahasa sehari-hari menciptakan nuansa surreal nan magis yang kentara. Bisa dikata, tanpa gaya tulisnya yang baru Lelaki Harimau nggak akan menjadi karya yang kita ketahui sekarang.

Gaya tulisan Eka Kurniawan tersebut menghasilkan sebuah narasi surrealisme yang unik ketika berpadu dengan cerita dalam Lelaki Harimau. Setting, konflik, dan karakter hadir tanpa keajaiban yang kelewat gamblang dengan pengecualian Margio, sang karakter utama. Mengambil tempat di sebuah desa dan kota di pesisir selatan pulau Jawa, Lelaki Harimau melukiskan lanskap cerita yang begitu real. Sehingga ketika Eka Kurniawan menuturkan kisah dengan setting yang demikian lewat gaya tulisannya yang baru, kita mendapatkan sebuah narasi yang memiliki tabir surrealisme yang dengan tipis menutupi realisme di bawahnya.

Lapisan surrealisme narasi Lelaki Harimau juga terwujud nggak hanya dari kontras antara realisme setting dan gaya tulisan Eka Kurniawan saja. Di Lelaki Harimau pergeseran sudut pandang dan perpindahan tempat serta waktu dapat terjadi begitu saja tanpa jeda. Tapi kepiawaian Eka Kurniawan dalam melakukannya sama sekali nggak menimbulkan gejolak apapun yang menjanggal pada flow dan pacing keseluruhan narasi. Perpindahan yang senantiasa terjadi begitu saja namun tetap begitu lancar menyampaikan narasi yang tengah berlangsung menjadi bagian penting dalam membangun surrealisme yang dimiliki Lelaki Harimau.

Sebelumnya saya harus menyampaikan terlebih dahulu kekurangan kecil pada Lelaki Harimau. Secara kepenulisan, prosa dan cerita yang dihadirkan memang sudah bagus. Namun saya merasa secara struktur, bisa dilakukan penyusunan yang lebih teliti lagi terutama dalam perihal perpindahan setting dan waktu guna menciptakan kepekatan surrealisme narasi yang lebih kuat. Meski demikian, kekurangan kecil ini nggak berarti banyak dan hanya ungkapan saya akan “bagaimana jadinya” bila Eka Kurniawan pun turut memadukan struktur ke dalam lapisan surrealismenya.

Selepas dari gaya tulisan, saya ingin membawa hal lain yang membuat saya lebih menyukai Lelaki Harimau pada pembacaan kedua saya: tema. Bukan hanya temanya itu sendiri, melainkan juga rasa yang dihadirkan. Di pembacaan pertama saya nggak begitu peduli atau memperhatikan soal tema yang dibawakan oleh narasi Lelaki Harimau. Perkecamukan seorang Margio dalam menghendaki kebahagiaan ibunya hanya saya anggap sebagai konflik interpersonal saja. Saya tidak begitu memperhatikan dimensi sosial di baliknya, yakni pernikahan dini di kampung serta kekerasan rumah tangga.

Dimensi sosial yang saya sadari Lelaki Harimau menjadi lebih berharga setelah menimang lebih lanjut atas lanskap sastra (populer) di Indonesia. Walau sebagian besar penduduknya tinggal atau berasal dari kampung, sedikit sekali sastra kita yang merefleksikan dan memberi suara atas kehidupan mereka. Mayoritas sastra yang kita temui berkutat pada kehidupan metropolitan, utamanya Jakarta. Rasa kampung di tema novel Eka Kurniawan ini maka menjadi nilai tersendiri bagi khasanah sastra Indonesia. Memang dia bukan satu-satunya sastrawan kampung kontemporer yang ada, tapi dia adalah salah satu dari sedikit sastrawan yang menghadirkan suara kampung di antara hingar-bingar kesastraan metropolitan ala Jakarta.

Lelaki Harimau di pembacaan keduanya telah bergeser dari “novel bagus” menjadi “novel spesial” bagi saya. Perubahan gaya tulisan yang sebelumnya begitu mengganjal sekarang lebih dapat saya nikmati dan akibatnya memperdalam pengertian saya sendiri atas surrealisme yang dihadirkan Eka Kurniawan. Temanya yang dibawakan dengan rasa kampung membuat Lelaki Harimau cukup unik dalam khasanah sastra Indonesia yang begitu didominasi metropolitanisme. Namun pencapaian terbesar Eka Kurniawan di sini ialah berhasil melakukan yang Corat-Coret di Toilet gagal capai: memadukan surrealisme dan realisme ke dalam satu kepaduan narasi yang mengalir indah.

Lewat Lelaki Harimau-nya, Eka Kurniawan memang pantas memperoleh tempatnya dalam kesastraan Indonesia.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: