
Status: 3 Season – Hiatus (?)
Cergamis: FairyDemon&Dewa Kecoa
Cerita kehidupan sekolah rasanya sudah seperti bonus Teh Kota: abadi dan tak bisa mati. Mereka dapat ditemui dalam medium apa pun dari novel hingga film. Sebagaimana genre lain mereka pun mengalami pasang surut. Tapi akan selalu ada cerita sekolah yang mengisi kekosongan tersebut. Daya tahan dan popularitasnya tidak dapat disangkal karena kehidupan bersekolah merupakan bagian dari kehidupan modern yang banyak orang pernah lalui. Bagi yang masih bersekolah ia menjadi cerminan, sementara bagi yang sudah lulus ia merupakan alat kilas balik ke salah satu fase kehidupan.
Di komik tentu saja bukan pengecualian. Beberapa komik Indonesia yang pertama saya temui di masa kecil pun mengisahkan cerita tentang kehidupan sekolah. Sekarang dengan komik Indonesia sedang naik-naiknya tentu kisah seperti itu akan mudah ditemui. Bila jumlah yang sekedar ditanyakan, maka ‘iya’ pantas diujarkan. Tapi bila pertanyaan itu didalami lebih lanjut, dengan kualitas sebagai titik utama, maka sayangnya ‘tidak’ yang lebih pantas dikatakan.
Kebanyakan cerita sekolah di platform kekinian memiliki masalah serupa. Yakni mereka seringkali tidak terasa seperti sekolah Indonesia. Ya, memang nama karakternya bisa kita temui di daftar absensi dan seragam putih abu-abunya bisa kita temui di sore hari saat anak SMA pulang sekolah. Tapi membaca komik-komik itu ada perasaan janggal yang mengganjal. Perilaku mereka begitu asing sehingga sulit membayangkan karakter-karakter yang katanya murid sekolah itu bisa kita temui di kelas. Begitu pula dengan kewujudan dari lingkungan dan sekolah yang rasanya bahkan terlalu aneh untuk institusi swasta sekali pun. Jadi jangankan kita bicara tema karena dari lapisan tepat di bawah kulit saja masih banyak salahnya.
Banyak kesalahan itu saya rasa bisa dialamatkan pada keengganan cergamisnya sendiri untuk menceritakan pengalamannya sendiri. Yang dijadikan cerita justru kisah sekolah ala Jepang sehingga tidak mengherankan apabila komik mereka terasa begitu meleset dalam detil-detil kecil yang semestinya membangun suasana sekolah Indonesia yang asli. Dari komik-komik yang saya baca hanya ada dua komik sekolah kekinian yang bisa menangkap (sebagian) suasana yang saya alami saat bersekolah dulu: Wanoja dan Rika. Dari judul review sudah tahu lah saya akan bahas yang mana.

Perlu saya katakan terlebih dahulu bahwa Rika si Preman Sekolah merupakan cerita kehidupan sekolah dengan penekanan sangat kuat pada unsur komedi. Guyonan dan humor yang dilempar di dalam ceritanya seringkali (bila tidak selalu) absurd dan over the top sehingga akan sangat konyol sekali bila dikatakan bahwa Rika merupakan representasi akurat kehidupan sekolah kita. Tidak ada orang yang cukup waras yang mengatakan bila Rika si Preman Sekolah itu patut ditiru apalagi ideal.
Akan tetapi dibalik komedi yang absurd dan over the top itu saya tidak merasa terasingkan. Ada sesuatu yang familiar di balik aksi Rika yang kerap menghajar orang lain dengan papan kayu atau tongkal pemukul. Setelah saya pikirkan lebih dalam lagi, perasaan familiar tersebut memang tidak mengherankan. Karena tampilan absurd dan over the top yang dipamerkan hanyalah eksekusi belaka. Eksekusi atas nilai-nilai yang aslinya dekat dengan kehidupan sekolah di Indonesia.

Maka dari itu saya merasa efek yang sangat berkebalikan dari Rika. Karakter-karakter nya sangat warna-warni secara harfiah dengan rambut mereka. Ada pula karakter lain yang berkuping lancip selayaknya peri dari komik fantasi. Tapi terlepas dari penampilan mereka yang begitu lepas dari realita, saya tidak merasa janggal saat membaca komik ini. Di sinilah saya mendapati contoh nyata bagaimana isi; perilaku, tutur kata, perbuatan merupakan elemen yang lebih berat dalam membangun suasana kelokalan yang otentik daripada sekedar penampilan belaka.
Rasanya Rika si Preman Sekolah mampu mencapai otentitas tersebut berkat kemampuan cergamisnya yang jelas mengambil pengalamannya sendiri atau orang terdekatnya untuk dijadikan atau pun karakter. Ia berupaya keras dan serius menampilkan kepremanan Rika dengan tanpa ragu menggunakan caci-maki baik sebagai hinaan mau pun panggilan antar karakter yang akrab. Begitupula ia ingin menegaskan bagaimana Rika itu berasal dari Bandung hingga dipergunakan bahasa sunda sebagai dialog utamanya dan bahas Indonesia sekedar terjemahan belaka. Ini semua merupakan bukti usaha yang nyata dan jujur dalam bagaimana seorang cergamis mengisahkan sebuah cerita yang ingin ia sampaikan.
Saya daritadi membicarakan nilai intrisik dan seolah melupakan aspek lain dari Rika si Preman Sekolah. Namun sungguh, nilai-nilai yang saya kupas tadi rasanya tidak akan membekas bila saja komik ini dibekali dengan eksekusi yang buruk. Timing komedi yang ada dirasa tepat. Begitu pula pacing tiap dan antar chapter. Ada ruang istirahat yang cukup antar punch line ke punch line berikutnya. Kematangan teknik FairyDemon dalam membawa Rika si Preman Sekolah ke kualitasnya yang ada jelas berperan besar dan tidak sekedar dibawa oleh kelokalan yang tertampak tadi.

Sebenarnya saya bisa saja berhenti di sini. Tapi setelah menyelesaikan 3 season Rika si Preman Sekolah, ada perubahan menarik yang terjadi sepanjang masa komik ini berlangsung. Perubahan yang kalau saya boleh berkelakar, bisa dikatakan sebagai enkapsulasi komik Indonesia kekinian.
Rika si Preman Sekolah di season pertama mengambil format penceritaan episodik dan sejatinya merupakan slice of life (yang absurd dan sinting). Dari cerita yang hendak ditampilkan dan sisi komedinya yang dikedepankan, format dan pendekatan tersebut sangat cocok. Rika lompat dari satu guyonan ke guyonan berikutnya antar chapter tanpa ada beban naratif yang membebani cewek bengal tersebut.
Lepas ke season kedua saya bisa melihat ada perubahan selain dari gambar dan warnanya yang menjadi lebih bagus. Walau pun fokus masih pada komedi yang nyaris non-sekuitur antar chapternya, ada benang merah yang tersambung. Walau tidak utuh menyambung dari chapter 1 hingga terakhir, beberapa benang merah cukup terlihat memilin sekumpulan chapter menjadi cerita yang lebih padu. Di season 2 ini pula lah subplot romance tampil tidak hanya sekedar sebagai set up sebuah guyonan.
Masuk ke season tidak ada perubahan arah, yang artinya kurang lebih apa yang terjadi di season dua berlanjut di sini. Humor dan komedinya masih absurd serta over the top tapi tidak lagi non-sequitur. Chapter yang disambungkan oleh benang merah menjadi semakin panjang dengan konflik dan beban emosional yang nyata pula. Konflik macam apa yang dimaksud mungkin sudah bisa tertebak: romance. Beberapa chapter yang lebih singkat dan lepas memberi set up atas subplot romansa pula.

Apa ini hal buruk? Tidak juga. Utamanya karena sekali lagi berkat kemampuan eksekusi FairyDemon sendiri mengolah konflik dan penuturan cerita yang lebih serius daripada yang muncul sebelumnya. Guncangan yang muncul dari pergeseran itu bisa lebih teredam. Meski secara pribadi, perubahan yang begitu mendadak tersebut membuat cerita yang stake dan konfliknya lebih substantif tetap terasa mengganjal dan sulit ditanggapi serius. Untungnya season ketiga ini pada akhirnya tetap dibawa secara komedi dan ditutup pula dengan komedi.
Dan Rika si Preman Sekolah pun berhenti di situ. Saya tidak mau sok tahu, tapi bila boleh menebak-nebak bila dilanjutkan arah lajur cerita yang dibawa kemungkinan akan mengarah ke trayektori yang serupa. Bagi saya ini cukup dilematis karena aspek favorit dari komik ialah komedi absurd nan over the top-nya atas kehidupan seorang preman sekolah. Namun di saat yang bersamaan, saya pun tidak menyangkal apabila penambah dalaman karakter yang muncul saat secercah keseriusan muncul membuat karakter-karakter yang ada tambah menarik. Jadi kurang lebih bila dilanjutkan Rika si Preman Sekolah bakal berbeda, hanya saja tidak membuatnya menjadi sesuatu yang buruk berkat kecakapan teknik dan eksekusinya.
Secara keseluruhan Rika si Preman Sekolah merupakan salah satu judul wajib baca dari komik platform scrolldown kekinian. Ia banyak menjawab persoalan yang saya ungkit-ungkit sebelumnya baik melalui serial artikel mau pun di review Methal Pertiwi. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari bagaimana FairyDemon mengejawantahkan pengalaman pribadinya menjadi cerita yang menarik dan bisa membawa OC dia beserta temannya melebihi sekedar ilustrasi karakter belaka. Penggunaan bahasa sunda dan caci-maki yang tidak direm memperlihatkan kesungguhannya dalam bercerita, dan itulah yang saya harapkan lebih dari komik Indonesia.
