[Resensi] The Emperor

Pengarang: R.D. Villam

Tahun: 2019

Penerbit: Elex Media Komputindo

Genre: Fantasi

Tebal: 288 Halaman

Sinopsis

Tidak pernah ada yang menyangka Anthravai akan menjadi kepala suku muda setelah tragedi yang merenggut nyawa kakaknya saat ia berusia 13 tahun. Dia yang dipandang lemah dan dianggap sebagai biang keladi dari kematian kakaknya, suatu hari kembali pada sukunya dengan keteguhan jiwa dan raga yang akan membimbingnya mempersatukan kembali suku-suku timur, pekerjaan yang tidak sempat diselesaikan oleh kakaknya karena ajal keburu menjemput. Dengan semangat juang misterius yang diperolehnya, Anthravai tidak hanya hendak menyelesaikan warisan sang kakak tapi juga membawa ambisinya ke pentas yang lebih besar di dunia.

Ulasan

Tidak ada yang banyak berubah dari skena fantasi lokal beberapa tahun belakangan yang terasa seperti mati suri. Selain dari serial Ther Melian (yang seharusnya saya segera bikin review kolektifnya), fiksi fantasi lokal yang saya baca ialah Barichalla dan saya enggan untuk mengingat segala macam kenangan saya atas buku tersebut. Meski demikian saya masih berharap dan tetap memberi kesempatan pada fiksi fantasi lokal bila saya menemukannya.

Tahun ini fiksi fantasi pertama yang saya temukan mungkin cukup spesial, apalagi bagi mereka yang pernah ikut gelombang geliat tertinggi fantasi lokal yang berada puncaknya di tahun 2010-an. Karena novel fiksi fantasi yang saya temukan dan baca ini ditulis oleh R.D. Villam, salah satu pendiri dan juri utama dari Kastil Fantasi. Sejujurnya saya belum pernah membaca karyanya, tapi reputasinya tadi kurang lebih memberi ekspetasi berlebih atas The Emperor ini. Meski di lain pihak ada aspek lain yang menjaga ekspetasi tersebut tetap pada taraf yang masuk akal.

Di ulasan Stardust saya sempat panjang lebar membagi tradisi fantasi menjadi dua antara dongeng dan epos. The Emperor dari judulnya sudah mengisyaratkan tradisi mana yang diikuti. Akan tapinya R.D. Villam di sini tidak mengekor fantasi epos ala Tolkien yang menekankan pada mitos penciptaan. Ia mengambil arah yang lebih ‘realis’ sebagaimana yang diisyaratkan dalam sinopsisnya. Sebuah pendekatan yang sebenarnya saya paling sukai dari fantasi yang mengikuti tradisi epos.

Akan tapinya itu bukan berarti ekspetasi saya jadi semakin tinggi. Yang ada ia justru menjadi aspek penjaga tadi yang sempat saya sebutkan. Dikatakan begitu karena pendekatan epos realis pun tidak kalah sulitnya dengan fantasi epos penciptaan. Cerita semacam ini tetap menuntut kedalaman wawasan yang disertai pemahaman dari si penulis. Tanpa prasyarat itu cerita epos fantasi kerap kali hanya menjadi imitasi hampa.

Tapi wawasan disertai pemahaman saja belum cukup. Kemampuan bercerita lah yang dapat menyusun informasi tersebut menjadi rangkaian narasi yang menarik dan layak untuk disimak. Tanpanya sebuah ‘cerita’ seringkali hanya menjadi deretan daftar fakta yang meski bisa saja menarik, namun tanpa makna berarti. Bahkan di buku sejarah non-fiksi terbaik sekali pun tetap dibutuhkan kemampuan bercerita agar peristiwa yang ditampilkan mampu menarik dan menjaga minat pembaca.

Sungguh sebuah prasyarat yang terlihat berat. Ekspetasi yang awalnya saya kesankan tinggi di awal, ternyata justru aslinya berisikan kewaspadaan. Mampukah kiranya The Emperor memenuhi ekspetasi tersebut? Jawabannya tidak semudah ‘iya’ atau ‘tidak’.

Dari aspek kepenulisan, saya bisa katakan The Emperor ditulis secara kompeten. Narasinya berjalan lancar dengan pacuan yang pas. Diksinya sendiri pun sesuai dengan setting dan suasana yang hendak dibangun, meski ada beberapa kata kelewat modern yang sebenarnya bisa diedit agar lebih sempurna. Karakternya pun masih bertindak dan bertutur kata seperti manusia, jauh berbeda dengan fiksi fantasi lokal terakhir yang saya baca. Skena pertempuran yang besar mau pun kecil pun digambarkan secara jelas dan tidak bertele-tele (walau pun pergerakan pasukannya bagi saya agak kebanyakan). Bahkan The Emperor pun bisa menghindari dirinya dari penggunaan infodump yang berlebihan, sebuah capaian yang patut dicatat bahkan untuk fantasi secara umum.

Ditulis secara kompeten memang memastikan pengalaman membaca yang tidak buruk dari The Emperor. Tapi apa kah pengalaman itu baik apalagi dapat dikenang itu lain persoalan. Karena saya sendiri usai membaca novel ini hanya sekedar merasa ‘selesai’ tanpa ada emosi lain yang mengiringi.

Secara garis besar, premis cerita yang dinarasikan sesungguhnya tidak buruk. R.D. Villam di sini meramu kebangkitan Mongol dengan persatuan Itali di bawah Romawi menjadi satu. Eksekusinya yang dilakukan pun matang sehingga tidak terasa janggal atau pun norak. Dari situ saja seharusnya perhatian saya sudah tersita. Tapi kenyataannya penggabungan dua elemen yang seharusnya menarik tersebut terasa begitu biasa saja bagi saya.

Bila berbicara sedikit lebih detail, mungkin kesalahannya bisa ditiimpahkan pada narasi cerita yang bisa dikatakan berlangsung mulu. Untuk novel yang mengisahkan kebangkitan dan persatuan suatu bangsa yang tadi terpecah, The Emperor minim sekali dengan intrik dan siasat politik. Kebanyakan karakter bernama dan aktor politik yang berperan penting serta merta memberikan sumpah setia mereka pada Anthravai, sang karakter utama. Yang melawan tentu saja ada, tapi mereka merupakan pihak luar sehingga sifatnya seperti objek taklukkan belaka. Jalan penaklukkan Anthravai begitu mulus, sangat kontras dengan fantasi ‘realis’ lain yang justru cenderung dipenuhi intrik politik internal.

Kalau kita percaya bahwa cerita yang menarik itu harus penuh konflik dan intrik, mungkin aspek dari The Emperor tersebut bisa disalahkan. Apalagi untuk cerita fantasi yang sepertinya sarat akan perseteruan politik. Hanya saja tidak semudah itu titik perkaranya karena saya punya titik acuan cerita serupa yakni Legend of Galactic Heroes. Di cerita itu pun, seorang kaisar penakluk dapat menyatukan perpecahan dengan intrik politik internal yang minim. Pun sesungguhnya tidak muluk-muluk amat untuk percaya karisma seseorang bisa mempersatukan banyak faksi tanpa halangan berarti. Lantas apa yang membuat The Emperor tidak mampu memperoleh capaian Legend of Galatic Heroes?

Karakter. Itulah jawabannya. Legend of Galactic Heroes tetap menarik untuk diikuti berkat karakter-karakternya terutama sang karakter utama yang penuh dengan cela dan motivasi yang kompleks. Sementara itu karakter di The Emperor terlalu biasa atau bahkan cenderung sekedar menempati peran sebuah trope. Anthravai sebagai karakter utama yang seharusnya penuh ambisi tidak digambarkan jelas apa yang menjadi motivasi utamanya, dan tidak pula itu dibingkai secara menarik nan simpatik. Kehampaan pada karakter ini yang akhirnya mengakibatkan The Emperor yang sebenarnya sudah ditulis secara kompeten, namun pada akhirnya terasa hampa.

Saya tidak akan menyalahkan pendeknya The Emperor sebagai penyebab lainnya. Ketebalan yang ada justru seharusnya patut dipuji apalagi untuk sebuah cerita fantasi berseri seperti ini. Dari ruang yang sudah ada, detil-detil pertempuran dan pergerakan pasukan bisa diganti dan diberikan pengembangan karakter karena di dalam The Emperor sendiri mereka seringkali terasa seperti bergerak mengikuti plot cerita tanpa ada agensi sendiri (kecuali satu karakter).

The Emperor pada akhirnya bukan fiksi fantasi yang istimewa, tapi juga bukan yang mengecewakan. Keringkasan cerita dan kompetensi kepenulisannya dapat dijadikan standar bagi fiksi fantasi lainnya. Bila ini memang buku pertama dari sebuah cerita serial, kemungkinan besar saya akan membeli sekuelnya. Meski pada saat membelinya nanti, mungkin ekspetasi yang saya pasang tidak akan dibuat terlalu tinggi.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: