Judul : Teh dan Pengkhianat
Pengarang : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2019
Genre : Fiksi Histori, Kumpulan Cerpen
Tebal : 176 Halaman
Sinopsis
Di tahun 2014 silam Iksaka Banu menciptakan mesin waktu yang mampu membawa pembacanya ke masa lampau era Hindia-Belanda. Lima tahun kemudian ia mencipta lagi mesin yang serupa, di mana kita diajak untuk kembali menengok dan menempuh periode waktu tersebut. Tidak ada dua mesin waktu serupa, dan oleh karenanya di kumpulan cerita baru ini Iksaka Banu menghadirkan cerita-cerita yang begitu berbeda dari Semua Untuk Hindia.
Ulasan
Di tahun 2014 silam, saya berangan agar Iksaka Banu menulis sebuah novel. Saat itu saya membayangkan tanpa ada pembatasan kata maka bisa jadi mesin waktu ciptaan dia bakal lebih dashyat lagi. Utamanya, lebih banyak ruang bagi karakter untuk berekspresi, yang merupakan titik paling kuat dari karya tulis gubahan Iksaka Banu selain dari diksi dan kepenulisannya.
Harapan saya sebenarnya terjawab, tiga tahun yang lalu. Sang Raja merupakan novel gubahan Iksaka Banu yang menceritakan Wirososeno, Sang Raja Kretek Jawa melalui orang-orang yang dipengaruhi hidupnya oleh dia. Bahkan selain novel fiksi histori tersebut, Iksaka Banu turut merilis kumcer yang dari judulnya bersandingan dengannya: Ratu Sekop. Di situ dia keluar dari ekspetasi, membawakan cerpen beragam tema dan setting yang jauh dari tema-tema historis yang dibawa sebelumnya.
Saya nggak mau mengisi ulasan Teh dan Pengkhianat dengan dua buku Iksaka Banu lainnya. Dua judul itu saya sebut-sebut untuk mengekspresikan penyesalan saya yang belum sempat membikin ulasannya masing-masing. Dan yang paling penting, kedua buku tersebut membentuk dan mendewasakan pandangan saya kepada karya-karya Iksaka Banu lainnya satu sama lain.
Jangan salah sangka karena sebenarnya kedua karya dia itu kualitasnya masih berada di atas rata-rata di antara penulis Indonesia saat ini. Hanya saja, keduanya mengungkapkan kelemahan Iksaka Banu dalam menulis. Terutama melalui novelnya yang membuat saya yakin bahwa Iksaka Banu memang seorang cerpenis daripada novelis.
Jadi di tahun 2019 ini dia kembali menerbitkan sebuah kumpulan cerpen dengan temanya kembali lagi ke fiksi histori. Begitu mengetahui kabarnya dari seorang teman, saya tentu merasa senang. Hanya saja nggak bisa disangkal kalau saya pun merasa was-was. Khawatir, bahwasanya pandangan tanpa cela saya pada Semua Untuk Hindia hingga saya baca ulang tiap tahunnya jadi ternodai. Sebuah kekhawatiran yang untungnya sama sekali nggak mengurangi niat saya untuk membaca Teh dan Pengkhianat.
Saya membacanya habis dalam satu hari. 176 halaman memang bukan tebal yang seberapa, tapi seringkalanya saya biasa membutuhkan dua atau tiga hari untuk menghabiskan buku dengan jumlah halaman yang serupa. Teh dan Pengkhianat saya baca dari sampul depan hingga sampul belakang semalam suntuk, karena satu kisah yang saya habiskan mengundang untuk segera lanjut ke kisah berikutnya.
Kekhawatiran saya bahwa kesan atas Semua Untuk Hindia akan ternoda berhasil dihindari. Iksaka Banu berhasil membuktikan bahwa kecemerlangan karya gubahannya dulu bukan kebetulan belaka. Ia menghadirkan napas yang serupa di sini melalui gaya kepenulisannya yang lugas, diksi yang sederhana namun brilian, dan karakterisasi yang senantiasa penuh warna.
Pujian di atas mengesankan bahwa Teh dan Pengkhianat setara dengan Semua Untuk Hindia. Tapi perkaranya nggak semudah itu. Di antara persamaan yang keduanya saling berbagi, ada pula perbedaan yang memisahkannya. Perbedaan ini pun nggak sepenuhnya menjadi nilai positif bagi Teh dan Pengkhianat ketika disandingkan dengan Semua Untuk Hindia.
Satu aspek yang menjadikan Semua Untuk Hindia begitu spesial adalah konsistensi dari kualitasnya. Seluruh cerpen yang termaktub di dalamdapat disandingkan satu sama lain tanpa jeda yang besar di antaranya. Memang mungkin ada satu cerpen yang lebih setara dari yang lainnya, tapi saya berani bilang hal tersebut tergantung pribadi, atau lebih tepatnya, selera masing-masing atas cerpen mana yang lebih mengena di hati. Ketika membaca ulang Semua Untuk Hindia nggak ada sama sekali terbesit benak untuk melongkap salah satu cerita di situ.
Teh dan Pengkhianat berbeda di sini. Ada beberapa cerpen yang mengulangi kesalahan yang saya temui dalam Sang Raja dan Ratu Sekop. Membacanya mengingatkan saya kembali akan kekurangan Iksaka Banu yang saya sebenarnya ogah untuk saya kenang. Titik rendah tersebut berada lebih bawah dari yang Semua Untuk Hindia milik (yang sejujurnya, nggak terpaut jauh dari titik tingginya). Membaca Teh dan Pengkhianat memberi pengalaman membaca yang inkonsisten bila dibandingkan pendahulunya.
Tapi di lain pihak, Teh dan Pengkhianat memiliki titik tinggi yang mencapai langit. Cerita terbaiknya melampaui cerpen mana pun yang ada di dalam Semua Untuk Hindia. Begitu jauh titik tinggi tersebut sampai-sampai saya ingin meletakkan Semua Untuk Hindia berada (sedikit) di belakang Teh dan Pengkhianat sebagai kumcer favorit saya, bilasaja bukan karena titik rendahnya yang jauh berada di bawahnya pula.
Ya, titik yang begitu tinggi dari Teh dan Pengkhianat mustahil dicapai tanpa adanya unsur pribadi di dalamnya. Pada beberapa cerpen sungguh terasa bagaimana di situ Iksaka Banu mencurahkan apa yang berada dalam dirinya di sana. Yang luar biasanya, unsur pribadi ini bercampur begitu padu dengan elemen histori yang ada, menciptakan lapis di atas lapisan naratif yang begitu kaya nan pula dalam. Bisa menampilkan kedirian kental dalam sebuah cerpen fiksi histori yang masa jauh dari waktu sang penulis, sungguh bukan sesuatu yang dapat dicapai semua orang.
Karena itulah hati saya seringkali merasa pecah. Titik tertinggi dari Teh dan Pengkhianat begitu tinggi hingga hati saya tersentuh. Saya ingin betul menjadikannya sebagai karya kumcer terbaik yang ditulis Iksaka Banu. Namun di saat yang bersamaan, pada kumcer tersebut juga beberapa karyanya mengingatkan saya akan kelemahan dia sebagai penulis. Bisa dikata Teh dan Pengkhianat merupakan yang terbaik dan terburuk dari Iksaka Banu yang diramu menjadi satu.
Pada akhirnya saya tetap merekomendasikan semua orang untuk tetap membaca Teh dan Pengkhianat. Kumcer ini memberikan sudut pandang yang berbeda dari historiografi Indonesia pada umumnya. Apalagi kisah-kisah terbaiknya mengandung kedirian Iksaka Banu yang sangat dalam dan tulus sehingga terdapat sebuah nilai yang rasanya mustahil ditemukan pada penulis yang berbeda. Begitu kuatnya hingga ia menjadi momen yang melampaui “Semua untuk Hindia!” tanpa perlu menjadi judul kumcernya itu sendiri.
Perjalanan lintas waktu Teh dan Pengkhianat memang lebih bergejolak daripada mesin Semua Untuk Hindia yang mulus. Tapi gejolak tersebut hadir karena ia memperlihatkan keindahan yang melampaui waktu itu sendiri.