Status: 40 Volume (Berlangsung)
Akhir-akhir ini mulai banyak cerita fantasi asal Jepang yang nggak hanya sekedar menjadi asupan belaka namun juga ilham. Tapi saya berbohong kalau bilang baru terpengaruh fantasi Jepang dua-tiga tahun belakangan. Karena di 2010 saya pertama kalinya menikmati Demon’s Souls, video game fantasi dengan latar dan cerita fantasi yang bercampur horor. Keindahannya dalam memadukan dua elemen tersebut masih menjadi sumber ilham yang menghantui saya.
Hanya saja Demon’s Souls tidak tercipta dalam ruang hampa. Ada karya raksasa yang menjadi tumpuannya untuk berdiri. Perpaduan fantasi dan horor yang ditampakkan dalam video game tersebut mengambil contoh dari sebuah cerita yang sudah terlebih dahulu melakukannya. Dan cerita itu adalah Berserk, sebuah mahakarya yang digubah oleh sang maestro Kentaro Miura selama 30 tahun dirinya berkarya da masih berlangsung hingga kini.
Berserk mengisahkan seorang pendekar yang berbalut pakaian serba hitam bernama Guts. Membawa pedang yang lebih pantas disebut batang besi karena terlalu tebal, terlalu berat, dan terlalu besar, Guts mengembara di atas bumi memburu seteru abadinya yang berupa para iblis. Dengan dengki yang membara di matanya, tujuan hidup yang menopang nyawanya hingga saat kini hanya satu: membalas dendam pada seseorang sahabat baik yang telah mengkhianati dirinya.
Dengan premis dan motivasi karakter yang begitu saja, sekilas Berserk nampak seperti cerita edgy yang sekedar menampilkan nuansa gelap, darah, dan potongan tubuh untuk terlihat keren belaka. Sejujurnya? Berserk di tiga volume pertama yang kerap disebut The Black Swordsman Arc memang sekedar cerita edgy belaka. Sebagaimana Miura akui sendiri dalam sebuah wawancara bahwa di awal dia memang tidak memiliki banyak rencana dan detil latar belakang untuk Guts. Bahkan pedang raksasa Guts diberikan olehnya hanya sekedar sebagai gimmick untuk menarik pembaca.
Meski demikian Berserk terbukti populer dan manga serial pertama Miura tersebut dapat berlanjut melebihi dari apa yang telah direncanakan. Kesuksesannya nggak membuat Miura terlena. Dia mengembangkan cerita hasil jahit sana-sini yang hanya diniatkan sebagai karya debutan menjadi sesuatu yang lebih utuh. Cerita yang tadinya sekedar usaha kekanakan berlagak dewasa menjadi suatu kisah cinta yang dipenuhi tragedi dan perjuangan manusiawi.
Rasanya kalimat terakhir barusan membawa banyak pertanyaan, tapi sebelumnya saya harus membahas dulu apa yang dimaksud dengan edgy. Kata tersebut biasanya merujuk pada usaha seseorang (remaja) untuk terlihat keren namun malah mendapatkan hasil sebaliknya. Edgy dalam konteks naratif memiliki artian yang kurang lebih serupa, yakni di mana suatu narasi menggunakan elemen-elemen ‘dewasa’ tanpa memberdayakannya. Darah, kematian, dan segala hal lainnya yang terasa realistis dan dewasa ditampilkan tanpa ada substansiasi yang jelas dan utuh. Intinya adalah ingin tampak keren, nggak kurang dan nggak lebih dari itu.
Bisa dibilang dengan pengertian seperti itu, edgy merupakan suatu fase. Sebuah masa bagi seseorang yang masih memfokuskan diri pada kulit untuk dipamerkan. Dan oleh karenanya sebagai sebuah fase, edgy bukanlah sepantasnya hal abadi yang akan dijalani oleh orang tersebut. Yang dibutuhkan untuk berkembang keluar darinya, terutama dalam konteks bercerita, ialah ketulusan berkarya dan keinginan untuk belajar.
Dan demikianlah yang dilakukan Miura.
The Black Swordsman Arc berlangsung sangat singkat, tidak sampai 3 volume. Panjang tersebut sangat singkat bila dibandingkan dengan arc lain ke depannya. Ia hanya batu loncatan, menjadikannya sebuah in media res bagi arc berikutnya yang akan mengembangkan Miura beserta karyanya sendiri kepada fase lebih lanjut. Melalui Golden Age Arc, sebuah bab cerita kilas balik yang berlangsung 12 volume Guts berubah dari sosok pendendam dan haus darah menjadi sosok manusia rapuh yang diliputi oleh tragedi.
Latar belakang Guts dikupas dari bagian terdalamnya sampai habis. Mulai sejak kelahirannya dari rahim ibunya yang mati digantung, tumbuh besar di medan perang sepanjang masa kanak-kanaknya di antara para pramusena bajingan dan bedebah, hingga pertemuannya dengan Griffith sang pemimpin karismatik yang memperkenalkan dirinya pada persahabatan dan sebuah tempat yang dapat disebut rumah. Miura memperlihatkan bagaimana karakter utamanya dilahirkan untuk berjuang, dan juga berubah bersamaan.
Sekedar dibaca dari deskripsi di atas kesannya latar belakang Guts malah semakin mengukuh dirinya sebagai karakter edgy. Namun percayalah, siapapun yang membacanya langsung (dan juga mengerti apa itu edgy) pasti akan segera menangkap bahwa bukan itu yang terjadi. Kisah pilu masa kecil Guts diceritakan ala kadarnya, nggak dibingkai seolah-olah tragis atau hal paling menyedihkan baginya. Bahkan di tengah masa kecilnya yang dipenuhi trauma, Guts masih bisa tersenyum, memperlihatkan keteguhan dan optimisme. Ia nggak mengungkit-ungkit traumanya yang sebagaimana manusia di dunia nyata, hanya muncul dan memicu keresahan dirinya di situasi tertentu. Latar belakang Guts adalah dasar bagi karakter dan caranya bertindak, menjadi suatu hal yang diperlihatkan dan bukan ditunjuk-tunjukkan.
Dari perburuan iblis dan pembalasan dendam di The Black Swordsman Arc ia perlahan menjadi drama yang dipenuhi tragedi seraya kita berjalan mengikuti kehidupan Guts sebelum semuanya berubah di Golden Age Arc. Ia merupakan kisah seorang prajurit anak-anak yang perlahan menemukan kemanusiaannya. Tidak lagi Guts berdiri sendiri sebagai serigala tunggal di medan perang, karena ia sudah bergabung dengan Band of The Hawk yang mungkin untuk pertama kali dalam hidupnya mengajarkan dan memberinya kesempatan mempercayai orang lain. Di balik semua perubahan tersebut ada sosok yang menjadi pusatnya: Griffith.
Guts memang memiliki emosional yang dalam pada Band of The Hawk secara keseluruhan, tapi semua itu mustahil terjadi tanpa Griffith. Karisma sang pemimpin itu lah yang menarik sekaligus mampu mempertahankan Guts yang tadinya hanya mengembara mengikuti arahnya perang untuk menetap bersama dirinya. Keduanya membentuk hubungan yang melampaui sebuah persaudaraan yang di mana akhirnya Guts pun turut mengikat Griffith pada sosok dirinya.
Keterikatan antara Guts dan Griffith senantiasa semakin memperlihatkan bagaimana hubungan mereka terbentuk karena perbedaan di antara keduanya. Guts adalah seseorang yang sepanjang hidupnya hanya tahu pertempuran, mengembara tanpa tujuan. Griffith sementara itu mencurahkan seluruhnya untuk ambisinya, di mana ia hanya percaya pada dirinya sendiri. Perbedaan yang begitu kontras di antara keduanya justru malah membentuk suatu kesamaan ganjil yang akhirnya menjadikan mereka saling melengkapi satu-sama lain bagai yin dan yang. Maka ketika kesatuan itu retak dan kembali dan terpecah, malapetaka menjadi hal yang niscaya.
Sungguh keniscayaan, atau disebut juga dengan nama lainnya, takdir, merupakan elemen yang bermain sangat besar di Berserk baik sebagai tema mau pun pada narasi. Sebagaimana keretakan yang terjadi antar Guts dan Griffith terasa seperti sebuah takdir yang mustahil dihindari. Padahal keretakan keduanya berasal dari cela diri masing-masing yang nggak diberitahukan pada sahabat satunya. Kesalahan kecil yang dilakukan segera bergulir menjadi bencana besar diluar perkiraan. Kita pembaca sebagai pengamat luar hanya bisa berdiam tanpa daya melihat Guts semakin mendekati takdirnya yang tragis. Perasaan tanpa daya tersebut yang nantinya akan membawa klimaks Golden Age Arc memiliki beban emosional yang tidak terkira, baik bagi sang pelakon kisah itu sendiri mau pun kita para pembaca.
Demikian lah Golden Age Arc berakhir, dan cerita Berserk kembali ke masa kini di mana takdir tanpa kepastian menanti. Namun bukan berarti takdir atau keniscayaan kehilangan peran dan bobotnya. Ia tetap senantiasa hadir di setiap sendi penceritaan Miura baik pada level tema atau pun narasi. Berserk merupakan cerita yang didorong oleh manusia-manusia dengan sisi puja mau pun cela mereka. Di saat bersamaan, kita sebagai pembaca bisa merasakan peran Miura sebagai dalang cerita mengatur semuanya berjalan sesuai kehendaknya. Perpaduan antara karakter dantakdir ini bagi saya telah menjadikan Berserk sebuah kisah tragedi yang dapat dibandingkan dengan kisah-kisah Tragedi Yunani yang bobot emosionalnya begitu lekang oleh zaman.
Berserk memang dikenal karena elemen action dan fantasinya. Tapi saya yakin bagi mereka yang membacanya, justru elemen drama dan karakter lah yang membuat betah. Guts memang tetap bertarung dan membunuhi para iblis yang menghalangi jalannya. Hanya saja semua itu dilakukannya karena tedorong keingininan melindungi cinta satu-satunya yang tersisa bagi dirinya, yakni Casca. Sebuah keputusan yang dilakukannya dengan menyimpan dendam membara di hatinya dalam-dalam. Walau kehadiran Casca seringkali memicu kenangan dan trauma yang membakar kembali dendamnya, Guts terus menerus melawan dirinya sendiri agar dia tidak termakan ke dalam kebencian tiada akhir. Kesemua aspek ini: perjuangan dalam diri, pengorbanan bagi sosok cinta terakhir, yang membuat saya bisa dengan yakin menyebut Berserk sebagai sebuah kisah cinta, yang indah pula.
Ada begitu banyak elemen lain pada narasi Berserk yang saya sendiri sulit untuk ungkapkan dalam kata-kata. Yang pasti, semua elemen tersebut terpadu dengan begitu rapi sehingga ia menciptakan keutuhan cerita yang begitu kuat. Hal ini saya rasa mustahil tercapai bila bukan karena kemampuan Miura dalam bercerita di mana dirinya mampu untuk menyeimbangkan elemen-elemen tersebut tanpa satu menindih yang lainnya. Sehingga akhirnya kita sebagai pembaca bisa merasakan berbagai emosi dari Berserk, entah itu jijik, sedih, haru, murka, hingga tawa (lucunya, perpaduan seluruh elemen ini beserta eksekusi Miura yang menampilkan apa adanya ini yang membuat saya yakin bahwa subgenre dark fantasy itu tidak pernah ada).
Kemampuan perpaduan dalam bercerita itu juga yang rasanya membuat elemen fantasi dalam Berserk terasa spesial dan bukan sekedar latar belakang. Miura memanfaatkan yang fantastis agar yang lazim terasa semakin menonjol ke depan dan begitu pula sebaliknya. Dia pun melakukannya dari setiap tingkatan mulai dari tema, lalu setting, dan akhirnya narasi itu sendiri sehingga Berserk benar-benar menjadi cerita fantasi seutuhnya di mana kita mustahil membayangkan Berserk dikeluarkan dari konteks genrenya bahkan ketika inti dari ceritanya merupakan kisah cinta yang dapat dipahami secara universal.
Jujur saja pada titik ini saya semakin merasa kesulitan untuk mengungkap apa yang membuat Berserk terasa begitu istimewa tanpa mengungkit satu aspek dari Miura yang telah memungkinkannya untuk menciptakan karya yang begitu hebat. Gerangan apakah aspek yang saya maksud tersebut?
Pengaruh dan Referensi
Kentaro Miura rasanya cukup dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup. Tapi rasanya itu langsung terbalik ketika dirinya di wawancara dan ditanya mengenai karyanya. Karena Miura sama sekali nggak akan menyembunyikan apapun sebagaimana dia akan mengungkapkan apa saja yang memang telah membantunya menciptakan Berserk menjadi karya yang kita kenal sekarang.
Dalam setiap wawancaranya, Miura selalu konsisten menyebutkan dua karya yang katanya memiliki pengaruh terbesar atas Berserk: The Fist of the Northern Star (Buronson dan Tetsuo Hara) dan The Rose of Versailles (Riyoko Ikeda). Judul yang pertama rasanya nggak mengejutkan sama sekali. Apalagi melihat dari desain karakter Guts beserta suasana dan tone dunia yang dibangun Berserk di volume awal. Jelaslah bahwasanya memang Miura ingin menciptakan The Fist of the Northern Star buatannya sendiri.
Namun yang kedua? The Rose of Versailles? Karya yang katanya menjadi ibu dari shoujo modern? Bagi saya itu rasanya seperti J.R.R. Tolkien mengaku bahwa Pride and Prejudice-nya Jane Austen menjadi sumber pengaruhnya. Tapi berbeda dengan pengandaian barusan yang fiktif, pengaruh The Rose of Versailles bagi Miura di dalam Berserk memang benar adanya dan sangat terasa di setiap sudutnya.
Bagi pembaca Berserk, mungkin mereka akan menunjuk bagian politik istana yang kerap muncul saat Golden Age Arc sebagai bukti keberadaan pengaruh The Rose of Versailles. Memang ini benar tapi seringkali orang menganggap hanya bagian itu semata yang mempengaruhi Miura ketika menggubah karyanya. Padahal pengaruh The Rose of Versailles atau lebih tepatnya shoujo karena Miura banyak membaca karya dari demografik tersebut, mengakar begitu dalam di Berserk. Ia memberi penekanan lebih banyak pada konflik psikis dan internal daripada aksi dan eksternal sehingga karakter benar-benar terasa berkembang dari dalam diri mereka masing-masing. Sehingga bila dibandingkan dengan manga yang demografik dan ceritanya serupa, fokus Berserk terhadap sisi internal karakternya menjadi sebuah keunikan karena jarang yang ada melakukannya.
Dari pengamatan itulah saya menyadari bagaimana Berserk mustahil menjadi seperti sekarang apabila bukan karena Miura berusaha menggabungkan The Fist of the Northern Star dengan The Rose of Versailles. Ia menunjukkan bagaimana uniknya suatu karya dapat dicapai melalui sumber yang kaya dengan membaca dan menonton banyak karya. Memang yang saya sebutkan hanya dua karya utama yang menjadi tulang punggungnya, tapi sebenarnya dari berbagai wawancaranya Miura menyebutkan lebih banyak karya lagi yang menjadi sumber inspirasi baginya. Demikian adanya, kekayaan dan kualitas Berserk mampu tercapai nggak hanya karena bakat belaka, namun juga kemauan sang cergamisnya dalam mencari berbagai referensi dan inspirasi.
Sungguh menuliskan review Berserk menghadirkan banyak kesulitan. Perasaan gelisah yang saya alami ketika menulis ini semua sangat serupa dengan ketika menulis cerpen atau cerita fiksi. Ketika saya menyusun setiap paragraf, menjabarkan hal-hal yang sekiranya telah meninggalkan kesan dalam di benak selalu terpikirkan bagaimana kata-kata tersebut nggak pernah cukup atau mampu untuk mengungkapkan kesan tersebut. Rasa-rasanya seperti telah melakukan ketidakadilan bagi Berserk itu sendiri karena saya gagal menyampaikan apa yang membuat terasa begitu spesial.
Mungkin suatu hari nanti di masa depan saya akan melakukan analisis, bukan sekedar review, yang lebih panjang atas Berserk. Namun untuk sekarang, saya berharap melalui 2000 kata di review ini orang dapat mengerti mengapa mahakarya Miura yang satu ini begitu dipuja dan menjadi karya yang spesial bagi yang mencintainya. Satu-satunya cara untuk dapat mengerti apa yang sama maksud adalah dengan membaca Berserk langsung. Karena sebuah mahakarya, bahkan saat ia masih belum utuh, bukan lah sekedar buah karya untuk dinikmati melainkan juga sebuah pengalaman untuk dilalui.