Judul : The Death of Ivan Ilych
Pengarang : Leo Tolstoy
Penerjemah : Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky
Penerbit : Vintage
Tahun : 1886 (pertama), 2012
Tebal : 53
Sinopsis
Ivan Ilych merupakan seorang pria paruh baya yang menghabiskan hidupnya berfokus pada karir sebagai birokrat dan terlepas secara emosional dari istri maupun putra-putrinya. Setelah sebuah kecelakaan dia mendapati dirinya di ambang kematian yang tidak terhentikan, di mana dirinya menyaksikan ketidakadilan yang mengerikan. Berhadapan langsung dengan kematiannya, Ivan mulai mempertanyakan semua yang pernah ia percayai mengenai arti dari hidup.
Ulasan
Novella ini bukan pertama kalinya saya bertemu dengan Leo Tolstoy. Kehormatan itu saya peroleh melalui cerpennya yang berjudul God Sees the Truth, But Waits. Seperti yang dapat ditebak dari judulnya, cerpen ini mengandung elemen religiusitas yang kental. Kisah yang dialami sang tokoh utama di cerpen tersebut merupakan sebuah perumpamaan pengampunan serta pengabdian seseorang pada Tuhan dan Kristus. Kesan saya terhadap cerpen ini begitu kuat, sehingga bisa dikatakan apabila ia juga yang memulai ketertarikan saya pada elemen religius dalam sastra yang telah saya jabarkan panjang lebar sebelumnya.
The Death of Ivan Ilych meneruskan tema religiusitas Kristiani Ortodoks di dalam narasinya. Namun dengan rentang waktu 14 tahun di antara God Sees the Truth, But Waits dan The Death of Ivan Ilych Leo Tolstoy tidak sekedar mengulangi tema religius yang serupa melainkan menaikkannya pada tahap yang lebih tinggi lagi. Bilamana God Sees the Truth, But Waits merupakan kisah pengampunan dan pengabdian sepanjang hidup, maka The Death of Ivan Ilych adalah sebaliknya; sebuah kisah mengenai penyesalan, dan penerimaan di depan maut.
Setelah usai membacanya dan lepas dari kesan kuat yang begitu dalam, cerita The Death of Ivan Ilych kurang lebih mengingatkan saya pada sinetron azab yang kerap ditemui di layar televisi Indonesia. Coba pikirkan lagi, bukankah novella ini menceritakan kematian Ivan Ilych yang begitu sulit dan penuh penderitaan karena ketiadaan jiwa Kristus dalam dirinya alias lupa Tuhan? Ubah saja judulnya jadi ‘Azab Seorang Jaksa Susah Mati Karena Lupa Tuhan’, dan dia sudah siap tayang di layar televisi Indonesia yang nirkualitas!
Tapi ada perbedaan yang begitu signifikan antara kebanalan religiusitas sinetron azab dengan kesalehan religiusitas narasi Tolstoy. Sinetron azab awalnya berniat untuk menjadikan kisahnya sebagai peringatan bagi kaum beriman. Hanya saja dengan penekanannya pada kepedihan azab yang menimpa sang pendosanya itu sendiri yang kerap kali dilebih-lebihkan hingga justru menjadi hiburan, sinetron-sinetron ini pada akhirnya hanya menjadi cerita revenge porn dan narasi moralitas (palsu) yang begitu hampa dari nilai keagamaan.
The Death of Ivan Ilych sungguh jauh berbeda dari sinetron azab yang begitu banal. Leo Tolstoy di sini telah berhasil menggubah kisah peringatan yang di mana sang pembaca tidak akan terhibur dari penderitaan Ivan Ilych, namun justru merasa miris, sedih, dan iba. Tidak hanya pada sosok Ivan Ilych yang begitu menderita, namun juga pada diri sendiri ketika menyadari bahwa kita berada pada posisi yang serupa dengannya, hanya saja belum berhadapan dengan kematian yang begitu menyakitkan.
Pencapaian ini mampu diraih oleh Tolstoy berkat kelihaian serta ketulusan dirinya menggubah religiusitas dalam narasinya tanpa ada rasa menghakimi. Dia tidak pernah melihat keluar pada tindakan penuh laknat yang dilakukan para pendosa, melainkan mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang tidak pernah gamblang melakukan hal yang dibenci Tuhan namun di saat bersamaan tidak pernah pula menghadirkan diri-Nya dalam hidup mereka. Di sinilah rasa sakit kematian Ivan Ilych berasal, di mana kebanalan hidupnya sebelum ajal menjelang tidak pernah menghadirkan Kristus di situ.
Maka jelas ada kesengajaan dalam narasi The Death of Ivan Ilych di mana Tolstoy menceritakan kehidupan Ivan Ilych sebagai lalu saja dibandingkan dengan saat kematiannya yang begitu panjang penuh derita. Tolstoy jelas ingin menampakkan bagaimana kehidupan banal yang berlalu begitu saja tanpa makna terasa begitu singkat. Sementara itu, ketika Ivan diambang kematiannya ingat akan (ketiadaan) Tuhan dalam hidupnya, pendar kehidupannya yang sudah begitu redup terasa begitu panjang.
Perlu dikatakan bahwa penderitaan dan rasa sakit Ivan Ilych di ambang mautnya berasal dari dirinya sendiri. Tidak ada sakit yang tiba-tiba datang, tidak ada pula ada kemalangan yang menimpa dirinya berturut-turut tanpa alasan. Semua itu dimulai dan berlanjut dari dirinya sendiri di mana Ivan Ilych merasa begitu sendirian di tengah kerabat dan sahabatnya saat dirinya sakit. Keluh kesah dari hatinya bahwa ia pasti akan mati diacuhkan seraya orang-orang sekitarnya menyampaikan doa ‘lekas sembuh’ yang hampa. Ketika dirinya sadar tidak ada manusia yang mau mendengarkan keluh kesahnya apa adanya, ia lantas berusaha mencari sosok lain, dan ketidakmampuannya menemukan sosok yang dimaksud hingga ajal jelang menjemput menjadi penderitaan terbesar bagi Ivan Ilych. Semua yang dialami olehnya, baik penderitaan mau pun pergulatan jiwa, berasal dari diri Ivan sendiri. Maka ketika di akhir cerita Ivan dapat terbebas dari penderitaan jiwa dan raga, pertaubatan yang dilakukan bukan berasal dari pendeta serba suci dan serba benar, melainkan pada penerimaan kematian atas dirinya.
The Death of Ivan Ilych begitu religius, namun narasinya tersebut dapat dirasakan dan diterima semua orang. Tolstoy memang menggunakan simbol Kristiani namuh hanya beberapa kali. Penderitaan yang dialami Ivan Ilych dibungkus dalam narasi yang menggunakan bahasa universal. Tapi yang lebih pentingnya lagi adalah lapisan lain dari tema penderitaan Ivan Ilych itu sendiri yang berkaitan dengan kelas sosialnya. Kehampaan hidup Ivan Ilych berasal dari upaya dirinya mengikuti tuntutan kerabat dan sahabat di mana uang dan kedudukan dipandang begitu penting. Dengan demikian, The Death of Ivan Ilych ketika dibaca tanpa nilai religiusnya menjadi sebuah kisah krisis eksistensi seorang kelas menengah yang menjalani hidupnya saja yang begitu banal dan tanpa makna. Bagi saya ini merupakan sentuhan brilian Leo Tolstoy, yang menjadikan novellanya sebuah mahakarya yang lekang dari zaman karena masih relevan hingga sekarang.
Sebagaimana penulis di masanya, gaya penulisan Tolstoy di sini begitu realis dan dekat dengan kehidupan. Dia tidak pernah menyembunyikan nilai-nilai religiusitas kristiani dalam narasinya di balik diksi dan prosa yang terlalu simbolis. Kata-kata dan kalimatnya begitu jelas dan ringkas dalam pengungkapan narasinya sehingga ketika di saat bersamaan di situ terdapat lapisan tema beberapa lapis, jelas sudah kemampuan Tolstoy sebagai seorang penulis. Bisa dikatakan pula bagaimana bahasa dan penulisan Tolstoy yang begitu membumi di sini semakin memperkuat rasa ‘kenormalan’ seorang Ivan Ilych sebagai seorang birokrat dan kelas menengah Rusia yang dapat ditemukan di mana saja pada masanya.
Meski tebalnya hanya 53 halaman, The Death of Ivan Ilych berhasil meninggalkan kesan dalam diri saya yang begitu dalam. Ia merupakan perwujudan ideal dari sebuah cerpen yang mengangkat nilai religius: bernilai universal, serta kaya akan makna, semua dicapai tanpa menggunakan simbol religius eksplisit. Tolstoy menulis kisah yang melampaui sekedar ceramah dan dakwah. Ia menghadirkan kisah peringatan yang dapat menyentuh kaum yang taat mau pun yang tidak. Sudah sepantasnya demikian karena sebagaimana yang Tolstoy percayai, bahwasanya nilai-nilai religius itu bersifat universal dan dapat dipahami oleh semua insan tanpa terkecuali.