[Resensi] Semua Ikan di Langit

33848032Judul : Semua Ikan Di Langit
Pengarang : Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie
Penerbit :  Grasindo
Tahun : 2017
Genre : Fantasy
Tebal : 259

Sinopsis

“Saya” adalah sebuah bus dalam kota asal Bandung yang melaksanakan tugas hariannya mengantar orang mencapai tujuannya setiap hari. Hingga suatu hari, ‘Saya’ bertemu dengan beliau, suatu sosok yang mengambil wujud seorang anak kecil dengan jaket kebesaran. Tanpa pernah berbicara, ‘Beliau’ menggiring ‘Saya’ untuk mengantarkannya pada sebuah perjalanan yang akan memperkenalkannya pada berbagai sosok asing nan ajaib, dan pada akhirnya, dirinya sendiri.

Ulasan

Karena  belum pernah mengungkitnya, di sini saya harus membuat pengakuan: bahwa saya memiliki ketertarikan pada agama. Bila diibaratkan, perwujudannya bukan seperti peganut saleh yang taat beribadah, melainkan seorang pelajar yang terpaku pada pola, tema, dan nilai dari ajaran-ajaran religius. Apalagi ketika elemen religius tersebut bersiku dengan aspek lain dalam kehidupan insani, utamanya cerita.

Ketertarikan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba atau pun barang lama. Tinggal tengok saja ulasan sastra Rusia yang saya tulis di sini dan perhatikan bagaimana mereka hanya mengulasnya dari sisi kebahasaan dan tema kulit belaka. Sementara itu sudah menjadi pengetahuan umum (bagi yang belajar sastra setidaknya) bagaimana banyak sastra Rusia pra-Soviet banyak dipengaruhi oleh pola-pola religius Kristiani Ortodoks. Iya, bahkan bagi penulis agnostik atau ateis sekalipun seperti Anton Chekhov.

Bicara soal Chekhov, kurang lebih ketertarikan saya ini disebabkan atau mungkin berasal semenjak saya menyadari pola-pola religius di dalam cerpennya. Beberapa cerpen beliau yang pernah saya baca memang menyiratkan ekspresi (kehampaan) religiusitas, yang setelah saya bandingkan dengan penulis Rusia lainnya memang sangat kental nuansa Kristiani Ortodoksnya. Religiusitas itu begitu unik, sehingga ketika membacanya kita akan langsung sadar ketika cerita yang kita baca itu berasal dari Rusia. Tidak mengherankan, karena Rusia pra-revolusi begitu kental religiusitasnya sehingga pola yang lazim kita temui di karya-karya penulis tersebut adalah bagaimana irrelegiusitas merupakan hasil dari pengaruh buruk Eropa Barat.

Kekentalan  Kristiani Ortodoks dalam sastra klasik Rusia membuat saya bercermin pada diri sendiri: di manakah saya dapat menemukan versi Islam yang serupa? Tentu saja saya bukan mengatakan peradaban Islam tidak pernah menghasilkan karya sastra dengan religiusitas yang kental. Mayoritas puisi klasik dari Turki Usmani mau pun Persia Islam merupakan puja-pujian Sufistik kepada Nabi Muhammad dan Sang Khalik. Oleh karenanya pertanyaan itu tidak saya arahkan kepada peradaban Islam secara keseluruhan, melainkan pada negeri kita sendiri, Indonesia yang setelah beberapa dekade merdeka menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar mengalahkan Pakistan.

Sebelumnya harus saya akui bahwa saya belum sempat menjelajahi khazanah sastra terkait. Yang saya tahu hanya Buya Hamka, dan itu pun saya sendiri tidak yakin apabila beliau penulis fiksi bertemakan Islam atau penulis fiksi yang kebetulan seorang ulama saja. Keterbatasan akses dalam cerpen lama atau baru yang mengangkat tema Keislaman berkat sulitnya menemukan mereka, termasuk fiksi-fiksi tulisan Buya Hamka, di toko buku pun sama sekali tidak membantu. Jadi harus ditekankan sekali lagi bahwasanya pengetahuan saya di sini sangat terbatas dan justru malah sangat bersyukur apabila bisa diberi kesempatan untuk memperdalamnya secara nyata.

Walau tidak mengetahui corak sesungguhnya dari khazanah sastra Islami Indonesia (terdahulu), bukan artinya saya tidak bisa merasa serta mengungkapkan kekecewaan terhadap kondisi khazanah tersebut dewasa kini. Semenjak tahun 2000-am akhir kita banyak melihat naiknya novel-novel yang memiliki rasa Islami, sebuah tren yang terus berlanjut walau dengan intensitas yang berbeda setiap tahunnya. Saya sengaja katakan ‘rasa’ dan ‘tren’ di situ karena karya yang dihasilkan begitu mengecewakan. Bisa dibilang mereka tidak lebih dari novel romansa yang sekedar dipertunjukkan keislamannya pada level ahlak dan identitas belaka.

Ini sama sekali tidak sebanding dengan karya-karya klasik Rusia di atas. Di situ keimanan seseorang kerap sekali dipertanyakan, dihadapkan dengan konflik simbolis antara modernitas dan kesetiaan pada nilai-nilai Kristus. Dibandingkan pada puisi-puisi Sufi malah semakin menggelikan. Karena ketika para sufi menggubah syair yang begitu indah sebagai ungkapan cinta mereka pada Rasulullah dan Sang Khalik, para penulis Indonesia modern ini hanya menjadikan Allah sebagai Sang Pencipta bertanggung jawab atas semua kebaikan yang diganjarkan pada sang tokoh utama.

Perkenalan pertama pada karya dengan corak Islam yang diharapkan saya peroleh dari kumpulan cerpen Joni Ariadinata, yakni Air Kaldera. Kumcer tersebut ia bagi menjadi dua di mana di paruh pertama jelas disisihkan sebagai bagian yang banyak berbicara soal keislaman yang direfleksikan dari pengalamannya. Di situ Joni tidak menina-bobokan pembaca dengan kisah sendu nan haru seorang pejuang yang doanya  dijawab oleh Sang Khalik, melainkan cerita di mana kemanusiaan dikorbankan atas nama keimanan. Paruh pertama Air Kaldera mengupas secara gamblang sisi lain dari religiusitas, membuat pembaca yang jeli dan terbuka pikirannya untuk mempertanyakan diri mereka sendiri. Tulisan seperti inilah yang saya inginkan dari khazanah sastra Islam Indonesia.

Tentu saja saya tidak menganggap cerita religius yang bagus terbatas pada mereka yang serupa dengan paruh pertama Air Kaldera. Lagipula bukankah saya sebelumnya sudah menuliskan bagaimana puisi sufistik selalu menembangkan pujian dan ungkapan rasa cinta serta kerinduan pada Allah dan Rasul-Nya? Di sinilah Semua Ikan di Langit, memenuhi keinginan saya untuk hal serupa di khazanah sastra (Islam) Indonesia.

Semua Ikan di Langit sama sekali tidak ditulis dengan simbolisme dan ungkapan Islam, berbeda dari Air Kaldera yang dengan eksplisit menggunakannya. Novel ini ditulis dalam ekspresi universal sehingga semua orang dapat menikmatinya. Tidak mengherankan apabila tema keislaman adalah hal terakhir yang terbesit di benak pembaca dari Semua Ikan di Langit, bahkan bagi yang menganutnya sekali pun.

Meski demikian, pengaruh atau setidaknya rasa sufistik di sini begitu nyata. Semua Ikan di Langit membawa tema kecintaan pada sebuah sosok ‘maha kuasa’ yang tidak pernah berbicara langsung dengan sang pemujanya. Beliau hanya diam, menjawab segala macam pertanyaan serta membimbing Saya dengan tindakannya yang penuh keajaiban. Sosok Beliau yang begitu menawan sekaligus penuh misteri membawa Saya pada sebuah cinta yang tidak mengherankan apabila nampak seperti pengabdian atau bahkan pemujaan.

Tentu saja tema kecintaan pada sosok pencipta tidak dimonopoli oleh kaum sufi. Namun rasa sufistik itu semakin susah ditolak dengan pengungkapan rasa cinta yang dituturkan secara begitu jenaka sekaligus hiperbola. Sosok pencipta di sini tidak hanya sekedar menjadi bunga ujung tebing yang hanya bisa dikagumi dari jauh, melainkan sosok yang begitu dekat hingga tokoh dalam cerita merasa bersamanya. Atau bahkan dalam Semua Ikan di Langit, berada di dalamnya sebagaimana Saya merasakan kebahagiaan utamanya ketika dapat mengantar Beliau mengarungi semesta.

Berbicara soal Saya, sang karakter utama dan narator, pengaruh atau rasa sufistik di Semua Ikan di Langit semakin kental karena keberadaan serta perannya. Saya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah bus dalam kota asal Bandung. Ia bahkan bukan mahluk hidup, apalagi manusia dan justrunya kerap kali bingung dan mempertanyakan mengapa bus sepertinya apakah benar-benar dapat mencintai sosok seperti Beliau atau tidak. Maka Saya menjadi pengandaian sufistik paling brilian dari Ziggy, di mana sebuah benda mati sekalipun masih dapat tergerak oleh sosok ilahi dan mencintai sekaligus memujanya.

Saya tidak menyalahkan pembaca yang tidak awas atau tidak menangkap rasa sufistik yang baru saja dijabarkan tadi. Semua Ikan di Langit, seperti yang sudah ditulis sebelumnya diungkapkan dalam simbol-simbol universal tanpa afiliasi apa pun. Tidak hanya itu, novel ini juga mengemas kisahnya dalam balutan fantasi nan surealis yang begitu jenaka. Membacanya seperti mendengarkan sebuah kisah dongeng yang secara khusus membicarakan suatu sosok pencipta. Semua Ikan di Langit begitu diisi imajinasi yang bebas tanpa kekang selaiknya imajinasi anak-anak berusia belia.

Semua itu tidak akan tercapai bila bukan karena penulisan Ziggy sendiri. Prosanya dalam Semua Ikan di Langit berhasil menampilkan kejenakaan berkat kesederhanaannya memilih diksi. Ketika ada kata-kata ‘sulit’ muncul, ia malah menambah kejenakaan itu sendiri karena seperti anak kecil yang menggunakannya. Tulisannya begitu ringan, hingga rasanya semua usia dapat membacanya. Tentu saja mengingat tema yang sudah saya jabarkan sebelumnya, ringannya bukan tanpa bobot. Maka ketika teman kecintaan tuhan di lapisan dalam tidak tertangkap, pembaca masih disuguhkan kisah fantastis yang dipenuhi keajaiban dan ketakjuban.

Bagaimana Ziggy mampu mencapai semua ini dalam kemasan tulisan yang sedemikian rupa memang luar biasa. Rasanya keputusan juri untuk menjadikan dia satu-satunya pemenang sayembara DKJ 2016 bukan sebuah keputusan yang berlebihan belaka tanpa alasan.

Tapi saya tidak mau lupa diri dan ingat dengan peribahasa ‘tidak gading yang tidak retak’. Ziggy memang membawa kisah Semua Ikan di Langit beserta temanya dengan begitu rapi dan subtil. Hanya saja kerapian itu retak dan kemudian runtuh di bagian 4/5 ceritanya ketika Ziggy berusaha membalikkan begitu tiba-tiba untuk memperlihatkan sisi lain dari tema yang dibawakannya. Eksekusinya begitu payah hingga kejenakaan yang dari tadi mengantar pembaca mengarungi kisah Semua Ikan di Langit lenyap seketika. Apakah bagian ini dibuat karena Ziggy memang ingin mengupasnya atau sekedar memenuhi ambang batas minimal kata sayembara, saya tidak tahu. Beruntung, dari bagian 1/5 akhir yang begitu berantakan Ziggy masih mampu menyusun epilog yang sesuai dengan 4/5 sisa ceritanya.

Semua Ikan di Langit adalah novel yang saya harapkan dari sebuah sastra ‘Islam’. Dia tidak sekedar membawa simbol-simbol religius hanya untuk menceritakan kisah ninabobo belaka melainkan mengungkapkan kecintaan pada Sang Illah dengan begitu mendalam dan intim selayaknya kaum sufi terdahulu. Ironis, karena Semua Ikan di Langit justru mencapai semua itu tanpa sama sekali menggunakan simbol-simbol eksplisit dan malah mengandalkan nilai-nilai universal. Sehingga kisah kecintaan pada Sang Pencipta dalam Semua Ikan di Langit sepantasnya dapat dinikmati semua orang, sebagaimana kasih Tuhan pada manusia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: