Tebal : 528
Sinopsis
Kaum Ashar, penguasa padang pasir menyebrangi selat dan menguasai hampir seluruh semenanjung Esperana beratus tahun yang lalu. Pernah berjaya sebagai salah satu peradaban paling termashyur di masa-masa keemasannya, Al-Rassan telah pudar kejayaannya dan terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil yang saling berkelahi satu sama lain. Sementara itu kaum Jad, mereka yang dahulu kala penguasa asli Esperana, mulai bangkit kembali dan berkehendak mengklaim ulang apa yang dianggap bagian dari warisan leluhur mereka. Waktu terus berubah, dan lebih banyak darah akan tertumpah.
Ulasan
Sekilas genre yang saya berikan di atas nampak begitu janggal: fantasy dan historical. Kedua genre tersebut berdasarkan akal sehat terasa sulit untuk kompatibel satu sama lain. Namun bagi mereka yang sudah mengunjungi blog ini dari waktu-waktu dulu, saya sudah pernah meresensi mahakarya novel historical fantasy sebelumnya. Novel yang dimaksud sebelumnya bisa mendapatkan status mahakarya pada kedua genre tersebut di mata saya berkat kepenulisan dan kemampuan sang penulis di dalamnya. Apakah novel ini serupa dalam hal demikian? Saya jawab saja sekarang: tidak. Bagi yang tertarik alasan mendalam dibalik kekurangan novel jadul nan obskur ini, silahkan teruskan ke bawah. Bagi yang tidak, mungkin ada bacaan lain di blog ini yang lebih menarik.
The Lions of Al-Rassan mendapatkan kedua genre di atas hanya secara teknis sebenarnya. Bagian historis dari novel ini dari settingnya yang merupakan paralel dari periode sejarah nyata di Spanyol abad 11. Begitu banyak hal yang merupakan paralel di dalam The Lions of Al-Rassan mulai dari tempat, karakter, dan agama. Sehingga tidak mengherankan apabila pembaca akan mengira kalau novel ini benar-benar novel historis yang disamarkan nama. Satu-satunya hal yang memberi fantasi dan tidak menjadikan The Lions of Al-Rassan sepenuhnya sebuah novel historis adalah keberadaan dua bulan di dalam dunianya. Tidak ada elemen fantastis selain itu. Dapat mengerti mengapa Gavriel Kay ingin menghindari kategorisasi melalui genre sebisa mungkin.
Sudah tentu penggunaan paralel tersebut menjadi bagian paling menarik dari novel ini. Namun karena sedikit bosan dengan format resensi yang biasanya, sekaligus agar nantinya bisa lebih fokus kepada isu utama novel ini yang perlu dibahas, saya akan membahas perkara penulisannya terlebih dahulu.
Harus dikatakan kalau penulisan bukan bagian terkuat dari Gavriel Kay dalam novelnya. Sebenarnya saya sudah berusaha membaca novel ini 3 tahun silam, namun terhenti dan akhirnya ditinggalkan karena gaya penulisannya. Meski sekarang saya sudah bisa mencernanya, namun bukan berarti itu artinya serta merta penulisan Gavriel Kay menjadi lebih oke secara ajaib. Satu-satunya keajaiban adalah saya bisa bertahan meskipun permasalahan penulisan yang mengganjal tetap berada di sana hingga novelnya berakhir.
“Mengganjal” rasanya sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan permasalahan (gaya) penulisan Gavriel Kay. Dalam penulisannya dia memang tidak berusaha menggunakan prosa yang kelewat ungu atau berusaha keras terlihat “nyastra”. Prosanya terdiri atas kata-kata yang biasa kau temukan di novel-novel bahasa inggris Amerika Utara. Hanya saja, Gavriel Kay selalu menemukan cara untuk menganggu ritme kalimatnya sendiri dengan menambahkan kata-kata, frasa, atau informasi yang tidak diperlukan.
Permasalahan terbesar yang sangat nampak dari kecenderungannya ini adalah bagaimana tulisannya menjadi terasa nanggung. “show not tell”, demikian kredo menulis mandraguna yang saya percayai, dan Gavriel Kay sendiri dalam tulisannya jelas berusaha mencapai hal tersebut. Hanya saja, setiap kali dia menuliskan sebuah kalimat, frasa, atau paragraf yang tengah menampakkan sesuatu, dia akan mengikutinya kemudian dengan penjelasan yang menerangkan kepada pembaca apa yang barusan ditunjukkan.
Gaya penulisan seperti ini tidak memberikan kelancaran membaca. Belum lagi Gavriel Kay memiliki kebiasaan lain untuk menambahkan frasa penekanan yang tidak diperlukan seperti in fact, yang pernah dalam salah satu kesempatan digunakan dua kali berturut-turut. Tidak mengherankan apabila pembaca yang sensitif akan dengan cepat mengembalikan novel ini ke raknya.
Satu-satunya hal bagus yang saya perhatikan dari penulisan Gavriel Kay mungkin adalah bagaimana dia bisa menghindari infodump pada sebagian besar narasinya. Ketika memberikan informasi, dia akan memastikan informasi yang dimaksud dituturkan pada waktu dan konteks yang sesuai. Meski demikian, Gavriel Kay sendiri di awal-awal cerita terlalu banyak memberikan nama-nama asing tanpa konteks yang berarti, menjadikan pembaca bingung dan merasa khawatir bila mereka melewatkan sesuatu.
Dengan soal kepenulisan cukup rampung saya bahas, mari kita bicarakan aspek-aspek narasi dalam novelnya itu sendiri. Telah disebutkan sebelumnya bahwa novel ini mengambil setting yang paralel dengan Spanyol abad 11, masa ketika Kesultanan Kordoba masih berdiri. Keseluruhan paralel yang diambil Gavriel Kay sendiri ini bukan untuk keren-kerenan belaka karena melalui paralel tersebut, dia mengambil sebuah tema yang sangat relevan dengan masa sejarah aslinya.
Mengingat Spanyol abad 11 dipenuhi dengan konflik religius antara Kristen, Islam, dan Yahudi yang terperangkap di tengah kedua raksasa tesebut, Gavriel Kay mengambil antarhubungan agama terseut sebagai temanya. Saya katakan antarhubungan karena dia membahas tidak hanya soal keharmonisan saja yang mungkin biasa dibahas oleh penulis yang tertarik dengan era tersebut, namun karena Gavriel Kay turut menghadirkan konflik keras tanpa bumbu pemanis yang pastinya akan terjadi. Walaupun memang, pada eksekusinya Gavriel Kay sangat mengutamakan harmoni tersebut seperti yang dia tunjukkan melalui interaksi para karakter.
Kita mungkin dapat bertanya, mengapa Gavriel Kay tidak mengambil setting sungguhan saja bila dia mengangkat tema yang demikian relevan tersebut tanpa melibatkan unsur fantasi yang berlebihan. Namun membacanya semakin jauh semakin terlihat mengapa Gavriel Kay memilih setting fantasi paralel. Melalui setting yang jelas-jelas fiktif tersebut, Gavriel Kay dapat menghindari pendetilan dan ketidakakuratan pada persoalan ritual, tempat, dan nama. Selain itu, narasi The Lions of Al-Rassan berakhir berbeda dengan peristiwa yang terjadi di dunia nyata, membawanya kepada sebuah akhir yang nampak ideal terutama bila demikian adanya pada dunia kita. Dapat dikatakan, Gavriel Kay mengambil setting fantasi yang fiktif agar dia memiliki ruang lebih bebas untuk mengembangkan narasi dan pembawaan temanya.
Keleluasaan yang dihadirkan oleh setting fantasi pun rasanya dimanfaatkan Gavriel Kay dalam membentuk interaksi antara karakternya. Di narasinya hampir tidak ada konflik yang terjadi sebagai akibat dari kesalahpahaman budaya. Tidak hanya itu, tindak laku antara para karakternya berlangsung begitu kasual sehingga saya mulai berpikir apakah mereka itu karakter TV Series modern daripada sebuah cerita historis mengingat banyaknya momen klise modern.
Komplain saya yang terakhir itu tentu nampak tidak berguna dihadapan setting fantasi The Lions of Al-Rassan. Sayangnya saya menuntut tinggi pada cerita fantasi untuk membangun setting yang mereka gunakan sebaik mungkin. Fantasi bukan menjadi alasan serta-merta meninggalkan verisimilitude begitu saja. Paling tidak, penulisan sebuah cerita fantasi jangan sampai menarik pembacanya keluar dan merasa ada yang janggal dengan apa yang dituliskan.
Harus diakui dengan mengambil pendekatan yang lebih familier, Gavriel Kay mampu menciptakan interaksi antara karakter yang menarik dan juga menghibur. Terdapat chemistry yang sangat bagus terutama pada karakter-karakter utama yang sering bertemu satu sama lain di dalam narasinya. Jadi meskipun saya merasa seperti membaca sebuah interaksi TV Series, namun paling tidak dia adalah interaksi TV Series yang bagus.
Permasalahan karakterisasi di The Lions of Al-Rassan sebenarnya bukan pada interaksinya yang terkesan terlalu kasual dan modern. Memang interaksi antara para karakter menghibur. Benar juga bila dikatakan chemistry yang muncul dari interaksi tersebut terasa nyata. Namun kesemua itu nampak sirna atau percuma di dalam menyampaikan tema yang hendak dibawakan oleh Gavriel Kay. Interaksi dan chemistry tidak akan gunanya pada keutuhan narasi dan tema secara keseluruha bila tidak disertai oleh motivasi.
Karakter-karakter The Lions of Al-Rassan memang secara janggal tidak memiliki motivasi yang kuat. Interaksi yang ada muncul karena Gavriel Kay mendiktekan hal itu tengah terjadi. Jalan dan hasil yang muncul dari interaksi itu pun berasal dari keputusan sang penulis. Pergerakan karakter terjadi bukan karena mereka terdorong atau harus melakukannya, melainkan karena demikian yang tertera pada plot narasi. Pada akhirnya karakter-karakter tersebut hanyalah boneka yang didalangi oleh Gavriel Kay, meki memang pendalangan yang dilakukan itu cukup baik adanya.
Namun mengingat tema yang dibawakan, ketiadaan motivasi karakter menjadikan tema yang ada terasa nihil. Tema itu tentu tidak akan muncul apabila setiap karakter utama bertindak prediktif sesuai dengan apa yang Gavriel Kay inginkan. Di sana tidak terjadi konflik yang semestinya terjadi. Padahal, antarhubungan agama merupakan sebuah tema yang sangat kental pada pribadi seorang individu. Makanya secara ironis, tema The Lions of Al-Rassan justru baru muncul ketika narasi terfokus kepada karakter sampingan yang memiliki paham agama yang keras, baik kepada sesamanya apalagi pada agama lain.
Hanya pada menjelang akhir narasi karakter-karakter utama yang terlibat munjukkan motivasi mereka masing-masing. Bukan suatu kebetulan kalau di momen tersebut mereka yang tadinya tidak lebih dari boneka dengan pakaian yang berbeda, menjadi individu utuh dengan tujuannya masing-masing untuk dicapai di dunianya. Sayangnya, sudah terlalu telat kemunculan motivasi mereka untuk menjadikan tema The Lions of Al-Rassan benar-benar memiliki dampak dan makna yang berarti.
The Lions of Al-Rassan ini memiliki ambisi yang agung. Gavriel Kay menggunakan panggung yang megah, dan rangkaian karakter yang juga tidak kalah besarnya untuk menceritakan tema yang dia inginkan. Meski pun dia sudah mendapatkan setting, dan interaksi karakternya itu sendiri, Gavriel Kay melupakan aspek terpenting yang menjadikan seorang karakter menjadi individu. Ketiadaan motivasi menjadikan narasi The Lions of Al-Rassan terasa hampa dan tidak memiliki kekuatan pendorong yang kuat serta dampak epilog yang mantap. Akhirnya pembaca pun turut kehilangan motivasi, seperti yang terjadi pada saya tiga tahun sebelumnya.