Sudah lewat tiga tahun semenjak tulisan terakhir (dan juga pertama) yang membahas sebuah komik secara spesifik (atau lebih tepatnya kompilasi komik). Setelah sekian lama waktu berlalu dan begitu banyak hal berubah serta berkembang, saya rasa sudah saatnya untuk pindah dari hal-hal besar soal perkomikan dan mulai melihat hal yang lebih kecil.
Tahun 2015 dan tahun 2016 adalah tahun yang saya rasa cukup semarak untuk perkomikan Indonesia. Tapi dari sedemikian banyak komik yang hadir dua tahun belakangan, saya ingin berbicara lebih akan Not My Hero yang diterbitkan oleh Kosmik Bercerita tentang Dimas yang mempertanyakan legitimasi kekuatan (dan kekuasaan) kelompok ranger-nya sendiri, Not My Hero merupakan sebuah cerita dekonstruksi tulen. Dia menyalakan saklar realita bukan hanya untuk keren-kerenan, pamer kematian, darah, dan jeroan manusia di gambarnya. Cerita dan tema yang ditampilkan Not My Hero tidak hanya kesungguhan upaya dekonstruksi atas genre tokusenka, namun juga lecutan komentar dan kritik atas kondisi sosial-politik Indonesia.
Ada banyak aspek yang menarik untuk diperbincangkan dari Not My Hero. Seperti misalnya gaya gambarnya yang terkesan “kekanakan” menjadi kontras menarik karena digunakan untuk menuturkan kisah yang cukup dewasa dan berat. Atau mungkin bagaimana tema yang diangkat dalam ceritanya menjadi sebuah cerminan yang cukup realistis bagi Indonesia, sebuah contoh yang baik atas kearifan lokal yang sudah saya perbincangkan cukup dalam sebelumnya. Namun bukan kedua hal itu yang mengganjal di benak saya sampai merasa perlu dibahas secara spesifik di sini. Mengingat tema yang diceritakan, Not My Hero sudah pasti merupakan sebuah komik yang sarat akan pesan politik dan ini yang akan saya bicarakan.
Dimas merupakan salah satu anggota dari sekelompok ranger yang menumpas monster setiap minggunya. Berbeda dari kelompok ranger yang bekerja secara pro bono di acara Sabtu dan Minggu pagi, Dimas dan kelompoknya bekerja untuk dan disokong oleh uang, serta ketenaran. Monster-monster yang muncul memang diperlihatkan membawa bahaya yang nyata, namun mereka bekerja berdasarkan panggilan klien yang biasanya merupakan perusahaan (swasta). Begitu berjalan ekosistem ini sampai di akhir pertempuran chapter perdananya, Dimas dan kelompoknya melakukan sesi foto di atas monster yang baru mereka kalahkan. Premis ini bagi siapapun yang paham dengan atmosfir sosio-politik di Indonesia pasti akan langsung paham dengan tema politik yang hendak dibawakan oleh Not My Hero.
Pada tema yang dibawa oleh komiknya ini, penggubah komik Bonni Rambatan memperlihatkan secara jelas posisi yang dia ambil. Tempat pertarungan antara kelompok ranger dan monster terjadi di atas lahan sengketa yang biasa diduduki oleh warga miskin. Klien yang menggunakan jasa mereka tidak lain adalah perusahaan yang mendapati lahannya berada pada senketa. Keseluruhan sistem kelompok ranger yang berjalan di dunia Not My Hero bagi Bonni tidak lain adalah sistem pengalihan isu dan eksploitasi yang dirancang oleh dan membawa manfaat bagi elit perusahaan swasta yang tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat marjinal.

Isu sosio-politik yang ditampilkan tidak berhenti sampai situ. Bonni menunjukkan isu-isu lain yang sekiranya sudah menjadi santapan awam di Indonesia, terutama di era Orba dan awal Reformasi. Mulai dari intimidasi dan teror yang dilakukan pada wartawan, hingga penghilangan para aktitvis yang membela hak-hak rakyat kecil. Kegamblangan isu HAM di Not My Hero tidak hanya terletak pada eksekusinya, namun juga temanya.
Nah, Kegamblangan itu yang mengganjal benak saya ketika membacanya. Sebagai seseorang yang percaya penuh pada kredo show don’t tell dan mencintai subtilitas, banyak momen di dalam komik saya rasa akan lebih pas apabila tema dan pembawaan yang dilakukan tidak sedemikian gamblang. Bagi saya, memanfaatkan subtilitas pada penghantaran suatu tema akan membuatnya semakin kuat ketika saat-saat kegamblangan harus ditampakkan. Ibaratnya sebuah sambal, yang awalnya terasa jinak namun perlahan-lahan makin kuat dan akhirnya memaksa lidah basah oleh air, dan menundukkan perut kita di toilet.
Sebenarnya tidak ada masalah dari pilihan Bonni untuk membawakan tema ceritanya secara gamblang. Hanya saja, inklinasi berceritanya tersebut membawa masalah yang cukup gawat secara naratif di chapter perdananya. Di situ terdapat satu halaman infodump yang menjelaskan ekosistem yang dibangun untuk menopang keberadaan kelompok ranger di Not My Hero. Halaman itu sudah dengan baik mencapai tujuannya untuk menginformasikan pembaca secara rapi dan singkat, hanya saja pembahasaan dan elemen visual yang digunakan sudah menempatkan kelompok ranger tersebut pada posisi yang benar pro-korporat dan memiliki kepentingan yang sangat bersandar pada status quo. Padahal berdasarkan konteks, informasi tersebut akan lebih masuk akal dan sesuai bila disampaikan pada nada yang lebih netral.

Terlepas dari satu perkara negatif yang saya ungkapkan di atas, perlu ditekankan bahwa pada akhirnya soal inklinasi antara gamblang-subtil merupakan preferensi pribadi setiap insan kreatif. Satu inklinasi tidak berada di sisi yang superior di atas yang lainnya. Cerita, tema, dan nada yang berbeda tentu akan mempengaruhi inklinasi terbaik untuk menuturkan pesan yang hendak diberikan kepada khalayak. Bila seorang penulis ingin memberi pesan (dan juga kesan) yang sangat kuat, tentu saja dia akan membawakannya secara gamblang ke muka pembacanya. Ibaratnya, tipe-tipe sambal yang sekali jilat langsung membikin mulas perut si penyantap.
Dengan hal negatif dikatakan dan preferensi pribadi sudah ditekankan, mari kita membahas hal-hal baik yang membuat saya akhirnya menilai positif kegamblangan pesan politik Bonni dalam Not My Hero. Terdapat tantangan tersendiri ketika menyampaikan pesan politik secara gamblang di dalam cerita. Ketika pesan politik disisipkan, sudah pasti sekedar menerima saja tidak cukup. Si pengarang harus mampu membujuk khalayaknya untuk simpatik pada pesan yang dibawakan pada atau minimalnya jadi peduli terhadap isu yang menjadi latar pesan politik tersebut.
Bonni sadar akan hal ini, karena itu memang tujuan dari Not My Hero. Di dalam ceritanya sudah ditarik cukup siapa yang berada di pihak mana, dan posisi si pengarang sendiri di situ. Meski demikian Bonni tidak menempatkan posisinya tersebut di atas alas yang membuatnya memiliki superioritas moral. Karakter-karakternya bereaksi dan bertindak pada situasi yang mereka hadapi sesuai dengan sifat masing-masing. Ketika mereka marah karena atas sebuah ketidakadilan, demikian reaksi yang memang sesuai. Di baliknya tidak ada pembenaran yang menjadikan kemarahan tersebut sebuah ekspresi suci tanpa cela. Bonni menampilkan apa yang hadir di komiknya begitu saja, membiarkan pembaca untuk menentukan benar tidaknya posisi dirinya dalam pesan politik yang dia bawa.
Salah satu jebakan dasar yang kerap terdapat di karya-karya yang sarat dengan pesan politik adalah bagaimana si empunya berlaku seperti propagandis. Karakter yang menjadi representasi posisi si empunya ditampilkan tanpa cela, dan setiap perbuatannya selalu dijustifikasi tanpa terkecuali. Sementara itu lawannya akan digambarkan sebagai pihak yang bodoh, pecundang, dan tidak jarang divisualisasi dengan rupa yang buruk. Tujuan karya seperti ini pada akhirnya hanya menunjukkan seberapa benar pesan politik yang dipegang oleh empunya. Kesemua ini tidak ditemukan di Not My Hero (kecuali di satu bagian yang saya bahas di atas dan desain antagonis yang terkesan terlalu komikal dan stereotipikal).

Pembawaan dalam Not My Hero menjadikannya sebuah karya pesan politik yang baik menurut saya. Bonni memang membawakan pesan politiknya secara gamblang, tapi dia tidak memaksakan pembaca untuk menerimanya. Pembaca bisa menolaknya, atau mengambil posisi berbeda, dan Bonni tidak akan mengejek mereka yang melakukannya. Bagi dia tidak ada masalah bila pesan politiknya tidak diterima, karena paling tidak pembaca jadi peduli dan tahu akan isu yang membelakanginya.
Jadi ya, Not My Hero memang begitu gamblang dengan pesan politiknya, dan saya tidak suka dengan hal itu. Tapi eksekusi dari Bonni sendiri pada cerita dan karakter telah sukses membujuk saya untuk tidak terlalu mementingkannya dan berfokus kepada narasi yang ada. Not My Hero baru saja mencapai titik akhir untuk arc pertamanya, dan saya berharap dia dapat mempertahankan apa yang dia sudah capai kedepannya.
Like this:
Like Loading...
Related