Tebal : 542
Sinopsis
Chiru’un merupakan seorang bocah yang perilakunya lebih mirip anak laki-laki daripada perempuan. Lincah, badung, dan tidak kenal takut, dia bermimpi untuk menjadi pemburu mengikuti kedua kakak laki-laki dan ayahnya daripada menenun seperti ibunya. Namun dibalik perilakunya yang urakan, Chiru’un menyimpan sebuah bakat terpendam, potensi akan luan yang akan membawa dirinya pada sebuah jalan hidup berlainan sama sekali dengan keinginan dia. Bersama delapan saudari satu perguruan, Chiru’un bersama mereka menempuh berbagai ujian untuk menguasai luan dan menjadi Penguasa, sekelompok tetua yang memimpin suku-suku padang selatan dengan kebijaksanaan mereka.
Ulasan
Tanggal dari post terakhir sudah lebih dari satu bulan yang lalu. Pada saya menulis resensi City of Stairs sesungguhnya saya sendiri sudah menyelesaikan Chiru’un dan sempat terpecah antara menulis resensi City of Stairs atau buku menakjubkan yang saya baru selesai baca pada watu itu. Akhirnya saya memilih buku yang sudah diselesaikan jauh lebih lama sebelumnya. Enggak hanya karena khawatir kesan saya akan buku tersebut pudar, namun ada banyak hal yang saya perlu pikirkan masak-masak dari yang saya baca di Chiru’un (meskipun sejujurnya satu bulan itu kelewat terlalu lama).
Chiru’un datang dari kawan yang juga sebelumnya merekomendasikan City of Stairs. Konteksnya sedikit berbeda karena nama buku ini muncul dalam sebuah perbincangan apakah fiksi fantasi Indonesia terlalu mengandalkan kekerasan di konflik narasinya. Melihat premis dan sampul yang menarik karena melibatkan sihir dan penenun, saya tentu saja langsung tertarik untuk membaca. Nah, apakah Chiru’un seperti rekomendasi sebelumnya jatuh di bawah ekspetasi saya yang tinggi? Jawaban tidak langsungnya, saya sangat senang direkomendasikan buku ini karena eksistensinya tidak akan pernah saya ketahui.
Sebagai pembuka sahaja, saya akan sedikit melihat jejak rekam sang penulis, Tasfan alias Nafta S. Meika. Ini bukan kali pertama beliau menulis fiksi fantasi. Pada tahun 2008 silam, dia menerbitkan cerita silat berjudul Tanril yang mengambil setting di dunia yang sama dengan Chiru’un. Buku tersebut mendapat rangkaian pujian dari Bang FAPur di blog FFI terutama soal conlang, penulisan, dan karakterisasi. Meski demikian, saya sendiri belum pernah membacanya karena pada tahun itu saya hanyalah seorang bocah dan tidak memiliki ketertarikan sama sekali pada fiksi fantasi lokal. Reputasi tersebut hanya menambah besar ekspetasi yang saya harapkan dari Chiru’un.
Nampaknya kualitas dari aspek-aspek Tanril yang dipuji masih dapat dipertahankan oleh Tasfan ketika dia menulis Chiru’un. Setting pseudo-mongolia yang ditampilkan terasa hidup dengan berbagai detil yang dijabarkan baik melalui narasi. Tapi dari narasi saja tidak akan membuat setting dunia yang ada terasa otentik dan hidup. Kabar baiknya, Tasfan turut menyelipkan worldbuilding-nya secara subtil dengan menyisipkannya ke-perilaku sehari-hari para karakter yang sesuai dengan dunia dan budaya tempat mereka tinggal. Dibandingkan dengan infodump yang kerap dilakukan, pendekatan ini jauh lebih baik dan efektif untuk menjembatani pembaca dengan dunia dalam narasi.
Salah satu usaha subtil yang brilian dari membangun setting dunianya adalah melalui penamaan karakter. Chiru’un mengambil setting pseudo-mongolia namun terdapat dua karakter yang namanya sangat mencolok karena rasa “eropa” mereka, yaitu Valerie dan Anbelle. Tanpa harus memasuki spoiler, ini merupakan sebuah penamaan yang cerdik karena penamaan mereka yang “aneh” tersebut sesuai dengan latar belakang karakter mereka. Penamaan tersebut menimbulkan sebuah kontras yang menarik antara karakter mereka dengan dunia tempat di mana keduanya hidup dan berinteraksi.
Conlang dalam Chiru’un merupakan salah satu elemen yang menjadikan setting yang digunakan memiliki sebuah rasa khas ketika membacanya. Penggunaan conlang yang ada tidak terbatas pada nama-nama karakter, konsep, atau tempat saja melainkan hingga puisi dan syair lagu. Dari sekian banyak conlang yang muncul tidak ada satupun yang terasa aneh. Dari nama hingga syair, di situ dapat dilihat terdapat pola yang membentuk linguistika bahasa. Kesungguhan Tasfan membangun conlang yang digunakan untuk cerita-ceritanya berbuah manis sebagaimana hal tersebut menjadi bumbu pelengkap yang sangat sedap dalam penyajian elemen-elemen fantastis di cerita fantasinya.
Di dalam dunia indah yang telah dibangun secara hati-hati dan detail tersebut, Tasfan mengisinya dengan karakter-karakter yang sama hidupnya. Chiru’un, karakter titular dari novel ini sebenarnya bukan satu-satunya karakter yang mendapat sorotan utama. Terdapat 8 saudari angkat beserta seorang guru mereka yang turut berbagi panggung dengannya untuk dinarasikan. Bahkan dapat dikatakan, dengan latar belakang Chiru’un yang sederhana dibandingkan karakter lainnya, status karakter utama dia terbayangi oleh saudarnya yang lain seperti Valerie, Ghamuna, atau gurunya sendiri, yaitu Anbelle,
Karakterisasi yang ditampilkan tidak hanya sekedar dituturkan melalui paragraf eksposisi. Tasfan sama seperti dalam membangun setting, dia turut membangun karakternya secara subtil. Dari latar belakang, sifat unik, hingga permasalahan pribadi masing-masing dibalut kedalam interaksi ke sesama karakter. Dari sini muncul rasa organik yang sama dari karakterisasi, di mana sifat, perilaku, dan konflik pribadi, menghindarkan Chiru’un yang memiliki banyak karakter dan sebuah subplot romance dari forced drama yang kerap menghantui fiksi dengan premis serupa.
Berbicara soal interaksi karakter, ini merupakan hal favorit nomor dua saya dari novel Chiru’un. Sebagai seorang penulis yang lebih gemar menulis karakter perempuan, saya mencari sumber referensi sebanyak mungkin yang dapat membantu saya dalam memberikan karakterisasi perempuan yang terbaik dan organik. Mencari hal ini sesungguhnya cukup mudah, namun hal berikutnya yang saya cari, yaitu hubungan antar karakter perempuan, sulit untuk menemukan fiksi yang memuaskan pada aspek tersebut.
Di sini Chiru’un benar-benar bersinar karena karakter-karakternya yang dominan perempu an mendapatkan karakterisasi yang sangat baik karena berkat alasan sebelumnya yang sudah saya utarakan. Setiap dari mereka memiliki rasa takut, alasan menjadi murid luan, hingga mimpi masing-masing yang hendak dicapai ketika status Penguasa telah mereka capai. Tidak jarang mereka membicarakan soal mimpi mereka selain dari pelajaran soal luan yang baru diperoleh sebagai topik obrolan.
Selain dari obrolan, masih banyak interaksi lain yang membentuk dinamika khas antar karakternya. Valeria dan Chiru’un yang mengangkat saudari satu sama lain kerap berbuat bandel hingga menyeret saudari yang lain dan membuat murka Anbelle. Sifat Pikimi sebagai putri kepala suku membuatnya menjadi pribadi dominan dan kerap berkelahi dengan Valerie atau Chiru’un sepanjang cerita berlangsung. Akaril, sang karakter arketipe kakak perempuan di sini selalu menjadi penengah, namun kerap kena getahnya karena dirinya sendiri kerap terlibat dalam keisengan adik-adiknya karena masa kecilnya yang terenggut. Semua dinamika kesembian saudari tidak akan mungkin terjadi dan menjadi kohesif apabila bukan karena sosok guru mereka, Anbelle, yang memiliki dua sisi antara sebagai guru dan ibu angkat bagi mereka. Tasfan yang meskipun seorang laki-laki, telah melakukan sebuah pencapaian yang luar biasa sebagaimana beliau dapat menampilkan karakter-karakternya yang dominan perempuan secara alami tanpa adanya bias “laki-laki” yang kerap menghantui penulis lain ketika menulis bahkan satu karakter perempuan saja.
Sesungguhnya kedua aspek di atas, yakni worldbuilding dan karakterisasi tidak akan bisa mendapatkan pencapaian yang tinggi apabila bukan karena satu hal yang sama, satu hal yang menjadi aspek favorit saya dalam Chiru’un. Satu aspek tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah aspek terpenting dari penulisan fantasi yakni prosa.
Prosa di dalam novel Chiru’un merupakan salah satu yang terbaik dalam fiksi lokal yang pernah saya baca. Tidak hanya dalam fantasi karena sesungguhnya bila demikian, Chiru’un merupakan yang terbaik namun juga fiksi secara umum. Satu-satunya tulisan yang melebihinya adalah karya tulisan Iksaka Banu karena perbedaan fundamental dalam prosa masing-masing. Iksaka Banu menggunakan kata-kata sederhana namun berkat komposisinya, prosa yang dituliskan memberikan sebuah nuansa yang begitu atmosferik dan khas, seolah pembaca kembali ke masa lalu yang menjadi settingnya.
Tasfan sendiri mengambil struktur yang persis dalam prosanya. Namun apabila Iksaka Banu menggunakan kata-kata yang sederhana, Tasfan menggunakan kosa kata yang lebih tidak lazim. Biasanya di tangan yang tidak piawai, kata-kata tersebut berkembang menjadi sebuah kalimat yang terlalu berbunga hingga mendekati purple prose. Di tangan Tasfan, dia mengkomposisikan kata-kata tersebut menjadi sebuah prosa yang tidak hanya terasa alami namun juga indah untuk dibaca. Pengunaan kosa kata yang tidak lazim itu juga memberi sebuah manfaat yang sangat positif bagi narasinya karena prosa yang dihasilkan memberikan sebuah rasa atmosferik setting fantasi yang kuat. Sehingga sama seperti City of Stairsi, meskipun terdapat banyak paragraf eksposisi atau infodump, paragraf-paragraf tersebut tidak serta merta memperburuk kualitas penulisan seluruhnya dan patut dibaca berkat prosanya. Satu-satunya hal yang menjadikan Tasfan tidak dapat mengalahkan Iksaka Banu adalah dia tidak sepiawai itu dalam mengolah dialog dan konsistensinya tidak sesolid Iksaka Banu.
Sudah sepanjang ini saya menulis, Chiru’un sebuah karya yang tanpa cela. Kembali ke pertanyaan awal, apakah Chiru’un sudah memenuhi ekspetasi saya yang tinggi? Ya, dia sudah sangat memenuhi apabila tidak sampai melampaui. Namun apakah dia sebuah karya fiksi yang tanpa cela? Sebenarnya tidak. Jauh dari itu dan sesungguhnya fakta ini yang saya akui ini telah menimbulkan sebuah perasaan yang ambivalen terhadap Chiru’un.
Jadi apa yang membuat saya merasa ambivalen? Cukup banyak. Salah satunya dari soal karakter. Memang secara keseluruhan karakterisasi yang diberikan sudah cukup baik. Namun itu hanya berlaku pada karakter yang mendapatkan jatah dalam narasi. Dari kesembilan saudari itu, hanya setengahnya yang dijabarkan karakternya secara memuaskan sedangkan setengahnya lagi terpinggirkan begitu saja. Nyaris tanpa peran apa-apa, hanya sesekali muncul dan bahkan tidak pernah ditanyai oleh Anbelle dalam perihal pelajaran. Saya merasa bahwa Chiru’un butuh lebih banuyak halaman agar setiap saudari paling tidak mendapatkan jatah masing-masing sekecil apapun itu.
Dari narasi cerita, Tasfan menempatkan banyak foreshadowing yang subtil maupun tidak. Usaha ini sesungguhnya merupakan hal yang bagus dilihat dari kepenulisan. Hanya saja banyak dari foreshadowing itu yang tidak kesampaian di dalam narasi Chiru’un sebagai sebuah novel tunggal. Mereka melampaui apa yang dinarasikan Chiru’un dan jelas baru akan terpenuhi dalam novel selanjutnya. Boleh dikata, ini menjadikan banyak subplot menarik yang dihadirkan tergantung-gantung dan ditinggalkan dalam kondisi yang tidak selesai dan jelas tidak memuaskan.
Namun kedua perkara di atas tidak semudah itu dapat disimpulkan menjadi hal negatif. Memang saya merasakan Chiru’un membutuhkan sedikit halaman tambahan, namun dari 542 halaman yang tersedia, tidak ada yang dapat dibuang untuk membuka ruang tersebut. Dalam konteks narasi, penceritaan yang dilakukan telah padat dan konsisten.menyampaikan konflik utama. Dari persoalan foreshadowing memang banyak subplot yang menggantung akan tetapi plot utama dan subplot dari buku Chiru’un itu sendiri telah mendapat sebuah konklusi yang memuaskan.
Hal-hal tersebut terus berkecamuk dalam benak saya sehingga memunculkan perasaan ambivalen. Menambahkan halaman agar beberapa karakter mendapatkan jatah karakterisasi pada narasi yang sebenarnya sudah padat dan konsisten. Subplot hasil dari foreshadowing yang melampaui narasi Chiru’un sehingga memberikan rasa menggantung dan tidak selesai, akan tetapi di saat yang bersamaan plot utama dalam Chiru’un itu sendiri mendapatkan konklusi yang sangat memuaskan. Chiru’un menjadi berada di sebuah posisi yang tidak jelas antara “buku tunggal yang patut dinilai dengan sendirinya” dan “buku yang membutuhkan kelanjutan untuk dapat dinilai secara utuh”.
Satu-satunya hal yang memang negatif dan patut dipertanyakan dari Chiru’un adalah kesan keterburu-buruan yang muncul menjelang akhir narasi. Bab cerita yang sesungguhnya menceritakan salah satu ujian (fisik) terberat yang dilalui oleh kesembilan saudari dilakukan dengan memberi narasi yang sangat ringan dan minim detail sehingga bab cerita yang semestinya dapat menggambarkan karakterisasi yang lebih baik melalui perjuangan yang ditempuh para karakter, serta merta lewat begitu saja seolah-olah ujian yang begitu berat tersebut tidak banyak merubah pribadi mereka.
Selain itu ada satu hal lagi yang mengernyitkan dahi saya menjelang cerita berakhir. Sepanjang buku berlangsung, setiap potongan syair atau puisi yang ada dituliskan dalam conlang indah yang telah susah payah dikonstruksi oleh Tasfan sendiri. Hanya saja tiba-tiba muncul sebuah syair lagu yang ditampilkan dalam bahasa inggris. Dua kali. Ketika melihatnya saya hanya dapat berucap “tapi mengapa?” karena begitu mendadak dan benar-benar berada di luar tempatnya. Padahal sebelumnya, apabila tidak dituliskan dalam conlang syair dan puisi yang ada akan dituliskan dalam bahasa Indonesia. Hal ini secara besar tidak begitu penting, hanya saja dia memunculkan sebuah inkonsistensi yang menggelitik dan menimbulkan rasa heran yang luar biasa.
Lantas demikian, Chiru’un tetap merupakan novel fiksi fantasi Indonesia yang saya baca sejauh resensi ini ditulis. Dia memiliki worldbuilding dan karakterisasi yang bagus, sentuhan-sentuhan subtil yang brilian dalam penulisan, prosa indah yang membangun nuansa atmosferik bagi dunianya, dan sebuah konflik yang membawa masuk pembaca kedalam narasinya. Saya berani menjadikan Chiru’un sebagai bacaan wajib bagi penulis maupun penggemar fiksi fantasi lokal agar mendapatkan gambaran dari fiksi fantasi apa yang patut disebut berkualitas dan pantas menjadi standar.
Bagi diri saya pribadi, apabila Chiru’un tidak pernah mendapat sebuah keterusan akan ceritanya, dia menjadi sebuah tragedi yang sama besarnya dengan ketiadaan novel fiksi sejarah panjang yang ditulis oleh Iksaka Banu.