Akhirnya.
(bukan, bukan akhirnya gue posting lagi setelah tahunan ga nongol)
Akhirnya masalah yang sudah lama meradangi benak ini dikeluarkan juga. Komik. Indonesia. Atau komik “Indonesia”. Atau komik, Indonesia. Nanti dijelaskan kenapa di kalimat-kalimat tadi dua kata itu saya pisahkan, padahal di judul tidak.
Belakangan ini memang sedang cukup ramai isu #KemanaKomikIndonesia di lingkaran-lingkaran sosial media saya, berawal dari satu keluhan orang yang kurang puas dengan komik lokal yang “bukan komik Indonesia” dan merambat kesana kemari, menyentuh problema makin beragam. Harus diakui, terlepas dari kontroversi pernyataan pemicunya, tren kecil-kecilan ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam skena komik lokal.
Tunggu. Komik Indonesia itu apa ya?
Pertanyaan bagus. Sebuah pertanyaan yang sudah ditanyakan, dijawab, diabaikan, dipenting-pentingkan, dan di di lainnya selama puluhan tahun. Beberapa orang merasa punya jawaban yang definitif, beberapa tidak. Mari kita bedah satu persatu.
- Komik buatan orang Indonesia,
- Komik dengan gaya gambar asli Indonesia,
- Komik yang terbit di Indonesia.
Semua definisi punya beberapa lubang. Mungkin komik buatan orang Indonesia terdengar altruistik, logis, tidak rumit, dan inklusif. Tapi coba samaratakan standar ini untuk negara-negara lain. Misal, definisi manga adalah komik buatan orang Jepang, dan bande desinee adalah komik buatan orang Prancis. Lalu bagaimana dengan seorang Amerika yang membuat komik 18+ berbahasa Jepang, bergaya manga, dan terbit di Jepang? Jika ada orang asing membuat komik berbahasa Indonesia, tentang orang Indonesia, dan terbit di Indonesia saja, apa itu disebut komik Indonesia atau komik dari negara asalnya?
Beberapa orang akan menjawab, “oh, justru itu makanya harus ada gaya gambar asli Indonesia!”. Persis seperti tadi, ini juga terdengar benar dan alamiah. Juga nasionalis. Kapan lagi bisa menghujat “antek asing”, “invasi budaya”, dan “ancaman laten bagi kehidupan berbangsa”? Namun lubang yang menganga dari argumen ini adalah, belum ada komik bergaya gambar asli Indonesia. Setidaknya komik non-avant garde. Gundala? R.A. Kosasih? (dengan respek kepada masing-masing pengarang) Mitos.
Perhatikan pose, aransemen panel, serta bentuk dialog dan narasi. Orang mungkin dapat berargumen bahwa setidaknya di Mahabharata pose pewayangannya amat kental, atau bahwa di Si Buta Dari Gua Hantu wajah karakter-karakternya cukup realis. Tapi itu argumen yang agak dangkal. Apa dengan begitu semua komik lokal harus berpose a la wayang dan desain karakternya realis? Gaya bukanlah sesuatu yang mutlak dan saya membuat perbandingan ini bukan untuk menjelek-jelekkan komik-komik tersebut. Dalam komik, gaya gambar ada untuk menyampaikan substansi. Atau menjadi substansi itu sendiri. Apa setiap pesan harus memakai bingkai yang sama? Apa setiap orang tidak lagi punya ruang untuk berinovasi dalam simbolisme dan bentuk, tereduksi menjadi komik “nasionalis” yang serupa dan hilang unsur artistiknya?
Justru apa yang tiga komik lokal di atas tunjukkan adalah bahwa gaya gambar semestinya fleksibel dan tidak terkungkung. Menambah unsur wayang pada basis penceritaan a la Amerika, mencoba membentuk wajah realis mirip orang Indonesia pada cerita yang berlatar pedesaan pseudo-Indonesia, twist seperti itu adalah suatu hal yang lumrah tergantung apa yang ingin pengarang sampaikan. Dan mewajibkan suatu standar yang kaku hanya akan menghambat semua ini. Toh antara manga satu dan lainnya pun banyak sekali gaya berbeda, tidak selalu mata besar dan rambut warna warni. Bande desinee sendiri punya beberapa aliran gambar yang cukup bertolak belakang secara prinsipil. Ada alasan kenapa orang menyebut gaya Picasso sebagai kubisme dan bukan gaya lukisan Spanyol. Apa “gaya manga” harus selalu dinilai secara geonasionalis, bukan secara intrinsik? Yang paling penting, apa kata “komik” harus selalu diberi embel-embel negara setelahnya?
Namun saya mengerti kebutuhan akan adanya sebuah gaya baru yang khas dan lahir dari pena komikus-komikus Indonesia. Ini akan saya bahas di Bagian 2. Oh, soal definisi ketiga? Dua kata saja: Vivian Wijaya.
Apa yang membuat saya kecewa dari tiga definisi di atas adalah tidak ada yang membicarakan unsur substansi yang saya sebut tadi. Cerita. Karena komik bukan hanya berisi gambar pemandangan tanpa karakter. Saya tidak ingin jatuh pada fasisme kultural, tapi kalau orang ingin membuat “Komik Indonesia” inilah yang sebaiknya menjadi fokus mereka. Lihat bagaimana dalam contoh di atas meski proporsi badan dan wajah Sancaka tidak begitu mirip orang Indonesia dialog dan narasinya terasa amat Indonesia. Tidak, saya tidak meminta semua komik lokal berlatar atau bertokoh Indonesia. Tapi saya sering dibuat tidak puas (terutama oleh komik lokal angkatan milenium) yang terlepas dari gaya gambar mereka, trope yang mereka gunakan tidak seperti fiksi Indonesia. Saya sering mendapat dialog tokoh-tokoh asal Indonesia yang semuanya terbata-bata, seolah-olah dunia dalam komik tersebut dunia gagap. Itu trope komik Jepang yang masuk secara buruk (bukan berarti semua pengaruhnya buruk). Menanggulangi ini akan saya bahas di Bagian 2.
Jadi, apa itu Komik Indonesia? Saya tidak senang menggunakan istilah ini dibanding istilah “komik lokal” yang lebih netral, namun kalau kamu ingin membuat komik dengan rasa lokalitas yang amat Indonesia, gunakanlah trope dan karakteristik fiksi Indonesia. Buatlah tokoh-tokohmu seperti orang Indonesia dalam dunia nyata. Bahaslah topik yang relevan dengan situasi Indonesia masa kini kalau perlu. Bagaimana?
makasih infonya,,
LikeLike