[Resensi] Winterflame: Vandaria Saga

Judul : Winterflame
Pengarang : Fachrul R.U.N
Penerbit :  Artoncode Indonesia
Tahun : 2014
Genre : Fantasy
Tebal : 528
 
Sinopsis
Memiliki latar belakang yang buram, Rhys merupakan “tangan” dari sindikat pencuri kecil yang selalu bergumul dengan resiko. Tapi dia menganggap resiko yang biasa dihadapinya tidak lebih merupakan bagian dari kesehariannya. Mengikuti kata hatinya dalam salah satu pekerjaan paling berbahaya, Rhys mengambil sebuah keputusan yang akan mengubah jalan hidup dirinya. Keputusan it senantiansa akan menciptakan masa gejolak dalam tidak hanya dalam catatan sejarah Benua Acro, namun juga  Vandaria.

Ulasan
Ini adalah novel kelima dari Vandaria Saga dan novel ketiga karangan Fachrul RUN yang saya baca. Pengalaman pertama saya pada dunia Vandaria bukan di mulai dari Hailstorm, tapi novel tersebut telah memberikan sebuah standar ekspetasi yang lumayan tinggi pada saya terhadap novel fantasi lokal terutama dari seri Vandaria Saga. Jadi bisa dibilang, setelah Hailstorm dan Redfang memberi sebuah pengalaman fantasi yang cukup memuaskan, ekspetasi dan hype saya atas Winterflame cukup tinggi.
Sudah menjadi pengetahuan umum kalau fiksi fantasi di Indonesia didominasi oleh penulisan fantasi yang sangat dipengaruhi oleh JRPG, dengan sedikit campuran Tolkien atau DnD disana-sini kalau beruntung (atau mungkin tidak). Buktinya bisa dilihat dari populernya format cerita seperti ini: usia protagonis yang relatif muda, biasa berkisar antara usia 16-20 (atau bertingkah laku seperti orang seusia ini); petualangan berbasis grup atau party based dengan anggotanya berusia yang tidak terlampau jauh dari si protagonis, namun tentu saja ada beberapa karakter veteran; dan terakhir, plot cerita yang berbasis penyelamatan dunia dari marabahaya yang mengancam seluruh  isinya.
Pada masanya, dua novel pertama Fachrul RUN mengambil pakem yang berbeda. Mereka mengisahkan tokoh utama yang usia fisik maupun psikisnya jauh dari remaja atau dewasa muda. Hailstorm dengan Lavinia , seorang ibu tunggal berusia 38 tahun beranak satu, sementara Redfang memiliki  Cassius Redfang, putra tertua bangsawan dengan inferiority complex pada adiknya sendiri hingga mengalami gangguan jiwa. Tidak hanya itu, kedua narasi dari kedua novel tersebut difokuskan pada peristiwa dengan skala yang lebih kecil, yang dimana akibatnya tidak langsung dirasakan oleh dunia Vandaria.
Di novel Winterflame Fachrul RUN keluar dari pakem pribadinya sendiri, menghadirkan sebuah cerita dengan premis dan rangkaian karakter utama yang persis dengan klise fiksi fantasi Indonesia. Rhys, karakter utama Winterflame, berusia kurang lebih dua puluh tahun, dan dia memiliki dua teman, Sasha dan Algisarra yang nampaknya tidak terpaut jauh usia antara ketiganya. Lalu dari sinopsis sampul belakang novelnya, diisyaratkan bahwa cerita ini akan melibatkan senjata mahakuat yang dapat merubah sejarah dunia. Bagi saya ini bukan masalah, karena hal tersebut baru disadari ketika resensi ini ditulis. Suatu hal yang baik apabila seorang penulis ingin keluar dari zona nyamannya dan mencoba hal yang berbeda, meski percobaan itu gagal atau berhasil.
Di berbagai kesempatan sebelumnya saya selalu menekankan bagaimana suatu premis atau tropes yang dicap klise tidak buruk secara inheren. Permasalahan yang ada bukan pada tropes atau premisnya itu sendiri, melainkan pada eksekusi. Di sinilah premis Winterflameyang sekilas terkesan klise, membedakan diri dari kontemporernya yang lain. Ketiga karakter utama Winterflame meski tidak sepenuhnya bersikap dewasa, tindakan dan perilaku mereka sering sesuai dengan latar belakang dan sifat masing-masing (kecuali untuk beberapa saat tertentu, yang akan saya alamatkan nanti). Mereka tidak hanya menjadi teman dalam eksposisi narasi, namun turut menunjukannya melalui interaksi sepanjang cerita. Kedua hal ini menjadikan tiga karakter utama Winterflame membentuk sebuah kepribadian grup yang dinamikanya berjalan alami sepanjang narasi.
Premis narasi Winterflameapabila dilihat lebih lanjut, sebenarnya sama sekali tidak menyerupai sebuah kisah penyelamatan dunia yang kerap ditemui dalam cerita RPG (barat maupun Jepang). Di saat yang sama juga, cerita yang dinarasikan berbeda dari dua novel Fachrul RUN sebelumnya yang cenderung memfokuskan pada sebuah peristiwa berskala kecil (mungkin kata “sesuai” lebih tepat) dengan dampak yang besar. Skala peristiwa dalam Winterflamelebih besar dari dua cerita sebelumnya, namun dia tetap terasa pada ukuran yang tepat karena (latar belakang) karakter dan plot yang digunakan sesuai dengan skala peristiwanya. Sehingga pada akhirnya, rasa narasi yang dimunculkan Winterflame senafas baik dengan Hailstorm ataupun Redfang.
 
Fokus pada dinamika grup ketiga karakter utama dengan latar belakang dan plot cerita yang besar dan megah menciptakan sebuah rasa kombinasi yang cukup berkesan. Narasi di fokuskan pada ketiga karakter utama, tanpa sekalipun ada perpindahan perspektif yang terlalu jauh (kecuali prolog), selayaknya cerita adventure. Di saat yang bersamaan, di belakang petualangan karakter utama berdiri sebuah setting yang lebih besar, dunia yang dipenuhi konflik, intrik, dan rangkaian peristiwa lain yang senantiasa bergerak secara independen, terlepas dari karakter utama yang di narasikan. Kombinasi petualangan ala cerita fantasi tradisional, dipadu dengan latar belakang dunia yang terasa groundedseperti cerita fantasi macam The Witcher, menjadikan Winterflame bacaan yang dapat diakses dengan mudah, dan menyenangkan tanpa mengorbankan kedalaman atau mengurangi bobot dari narasi dan dunia Vandaria itu sendiri.
Kemudahan mengakses Winterflamejangan disalahpahami sebagai suatu hal yang buruk. Tidak peduli premis apa yang digunakan, setting kompleks apa yang dibangun, atau intrik plot rumit yang dirancang, semua aspek kepenulisan dalam suatu cerita ditentukan bobotnya dari eksekusi. Cerita yang “aman” akan lebih menarik dan memiliki bobot daripada sebuah cerita yang dipenuhi twist murahan yang diberikan hanya untuk sekedar shock value tanpa ada pertimbangan panjang di baliknya. Dua cerita China Mièville, The Scar dan Un Lun Dun di luar dari karakter utamanya yang perempuan, sangat berbeda satu sama lain. Yang pertama merupakan kisah fantasi yang biasa disebut sebagai gritty, penuh dengan kekerasan, karakter mati, dan penyesalan, sedang yang kedua adalah kisah fantasi urban tentang petualangan seorang gadis melindungi dan menyelamatkan apa yang dia sayangi. Tapi di antara keduanya tidak ada perbedaan bobot berarti, ketika kedua-duanya merupakan cerita fantasi yang dapat memenuhi potensi premis yang ditawarkan dengan eksekusi yang baik. Singkat kata, cerita yang lebih mudah diakses atau mungkin disebut “ringan” bukan berarti cerita tersebut senantiasa tidak memiliki bobot.
Karakter di Winterflame merupakan salah satu aspek terbaik dari segi penulisannya, karena kalau tidak, dinamika ketiga karakter utama yang disebutkan sebelumnya tidak akan bekerja. Tidak hanya karakter utama, namun karakter pendukung lain yang memiliki peran penting di dalam narasi juga menunjukkan dinamikanya sendiri. Bukan kepada karakter lain, namun dunianya sehingga aksi yang diambil para karakter ini di dalam narasinya menjadi sebuah worldbuildingyang subtil, semisal tindakan yang dilakukan Palmira menunjukkan adanya dinamika politik dalam tubuh Aristokrasi Pandora. Ketika tindakan tidak sesuai dengan situasi maupun konteks yang telah dibangun, disitu motivasi pribadi berada, dan ini lah yang akan menciptakan dinamika antara karakter dengan dunianya.
Sayangnya, penulisan yang baik hanya terbatas kepada karakter utama atau karakter lain yang berada di sisi mereka. Raskolnikov dan Selvarath merupakan salah satu buah kekecewaan yang ada di Winterflame. Tidak ada dari kedua karakter yang memiliki motivasi pribadi seperti Corra atau Palmira. Dalam narasi Selvarath digambarkan begitu saja sebagai seorang tokoh antagonis yang tidak perlu mendapat simpatik sama sekali. Dia seorang agen pemerintah yang licik dan berlidah tajam, namun tanpa adanya motivasi di baliknya tindakannya kecuali menghalangi protagonis dan memenuhi perintah, Selvarat menjadi seperti sebuah stock character antagonis tipe yang menyebalkan, ditulis hanya untuk dibenci. Sementara Raskolnikov memberi kekecewaan yang lebih besar, karena meski dia memiliki potensi untuk menjadi seorang karakter yang solid, pada akhirnya dia dibuat sepenuhnya menjadi fulltime villain, yang secara absurd dibuat bertanggung jawab atas semua kekacauan yang terjadi di Acro.
Permasalahan yang paling mengecewakan dari Winterflame adalah aspek penulisan secara umum yang nampaknya tidak berubah. Malahan saya berani mengatakan bahwa hal ini menjadi lebih buruk. Paruh awal narasi Winterflame terasa kurang dipoles. Sekitar dua puluh halaman pertama, sudah tersajikan paragraf eksposisi panjang lebar mengenai dunia Vandaria meskipun hal-hal tersebut sebenarnya bisa diselipkan di lain kesempatan. Untungnya, hal ini lebih membaik di paruh kedua.
Tapi itu tidak cukup untuk  membuat saya menganggap penulisan di Winterflamememburuk. Alasan utamanya adalah banyaknya kosakata digunakan tidak sesuai dengan konteks waktu maupun konteks dari arti kata itu sendiri seolah-olah Fachrul RUN menulis dengan buku thesaurus terbuka di sebelahnya. Ketika kata-kata aneh yang nyelip muncul terlalu banyak dalam jeda singkat, mau tidak mau perasaan janggal akan muncul. Penceritaan menjadi tidak mengalir, dan verisimilitudeserta imersifitas narasinya jatuh berantakan.  Padahal dalam cerita fantasi membangun suspension of disbeliefyang kuat merupakan salah satu aspek penting.
Inkonsistensi pembendaharaan kata tersebut nampaknya menular ke aspek lain, kali ini pada tona narasi. Dinamika ketiga karakter utama memang terjadi cukup baik dan alami, namun nampaknya Fachrul RUN membiarkannya begitu saja terjadi hingga tidak tersadar bahwa apa yang ditulisnya tidak sesuai dengan tona cerita yang di bangun atau paling tidak dengan narasi yang sedang berlangsung. Terdapat beberapa interaksi antar ketiga karakter utama yang terlalu comical (atau mungkin lebih tepatnya mengikuti momen-momen klise yang biasa ditemui dalam komik/anime), terjadi ketika situasi serius sedang berlangsung. Mengingat premis narasi dan setting dari Winterflame itu sendiri, tidakkah dinamika karakter seperti itu hanya akan merusak gambar besar yang sedang dilukis?
Winterflame memang di eksekusi dengan baik sehingga dia bisa menjadi sebuah cerita familier, namun juga cukup berbeda di saat yang bersamaan. Di antara kedua novel Fachrul RUN, Winterflame merupakan novelnya yang paling konsisten dan solid dalam segi pacing cerita. Terlepas dari segala pujian yang saya berikan, ini bukan berarti Winterflame nircacat karena dia memiliki serangkaian permasalahan, beberapa sangat mengecewakan. Meski demikia, Winterflame merupakan titik awal yang pas bagi mereka yang hendak memasuki dunia Vandaria Saga.
Sebenarnya banyak hal lain yang ingin saya utarakan, namun saya rasa penyampaiannya akan lebih baik jika dalam bentuk diskusi.
Catatan
Ada satu hal spesifik dalam Winterflame yang membuat diri saya merasa begitu jengkel. Hal yang saya maksud adalah penjelasan panjang lebar mengenai permainan Arkana (TCG dari Vandaria Saga) hingga satu halaman. Menimbulkan kejengkelan karena permainan Arkana dijelaskan sedemikian rupa hingga dia merusak flow dari narasi dan semakin absurd ketika seluruh penjelasan tersebut tidak ada relevansinya pada narasi. Bukannya itu yang biasa kita sebut iklan? Dan saya paling jengkel dengan iklan yang menyusup karya kreatif hingga merusak kualitas karyanya itu sendiri. Untungnya ini hanya terjadi sekali, dan tidak ada lagi usaha coba-coba untuk mengiklankan Arkana.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: