Pengarang : Adham T. Fushama
Penerbit : Moka Media
Tahun : 2014
Genre : Drama, Tragedy
Tebal : 280
Sinopsis
Pandu menjalani kehidupan kelas dua SMA-nya dengan damai bersama teman baiknya, Mamet, dan pacarnya, Nadine. Suatu hari seorang murid perempuan pindahan dari Jepang datang dan duduk di sebelahnya, dia bernama Anggi. Bertingkah sebagaimana dirinya, Pandu menawarkan dan memberikan kebaikan yang dapat dia lakukan pada kawan sebangkunya yang baru. Anggi membalas kebaikan itu dengan nilai yang setara, namun bukan apa yang Pandu pikirkan dan harapkan.
Ulasan
Jika memperhatikan banyak pos saya di blog ini, kau pasti sudah bisa mengira bahwa saya hampir bisa melahap buku dari berbagai genre. Meski begitu, saya seorang pembaca yang lebih condong kearah fantasi, menumpuk wawasan pada genre itu sementara meninggalkan yang lain seadanya seperti misal thrillerdan membaca blurb maupun endorsement buku ini, saya pun percaya dia masuk genre yang sama. Sejauh ini ada lima novel thriller yang saya baca dan tulis resensinya disini. Tiga memiliki skala yang cukup besar melibatkan cukup banyak pihak. Sedangkan dua lagi lebih fokus pada pembunuhan dan aspek psikologis karakter, sesuai dengan karakteristik novel seperti di blurb dan endorsement-nya. Masalahnya kedua novel tersebut tidak memenuhi ekspetasi, dan selain itu wawasan saya pada genre ini tidak begitu ekstensif untuk bisa memberi resensi secara mendalam seperti halnya buku-buku fantasi. Dengan 2 dari 3 novel thrillerlainnya cukup memuaskan bagi saya, sekiranya dua novel ini kemungkinan akan menjadi acuan kualitas bagi genre thrilleryang saya baca meski memiliki fokus yang berbeda dibandingkan Rahasia Hujan.
Takut terjebak pada sebuah perangkap yang kerap terjadi ketika seseorang meresensi sesuatu yang diluar preferensi genrenya, saya memutuskan untuk menilai Rahasia Hujan dari apa yang hendak dicapai sebagai buku thriller. Cara berpikir ini saya pertahankan sepanjang membaca buku, sampai saya sadar perlahan-lahan bagaimana hampir semua endorsement dan genre yang dipasangkan pada Rahasia Hujan sangat menyesatkan.
Dalam resensi Rencana Besar, saya menuliskan cukup banyak mengenai pertaruhan. Dari situ bahkan dapat dikatakan bahwa pertaruhan merupakan elemen utama atau pembangun genre thriller itu sendiri. Sepanjang cerita pembaca akan merasakan ketegangan sebagaimana pertaruhan yang dibangun membesar ketika konflik cerita semakin dekat. 3 dari 5 novel thriller yang saya baca jelas memiliki elemen ini sebagai pusatnya. Dua sisanya meski memfokuskan pada aspek psikologis masih meletakkan pertaruhan sebagai elemen penting dalam narasi. Hal ini, pertaruhan, tidak dirasakan sama sekali ketika saya membaca Rahasia Hujan.
Di paruh awal –tidak, dua pertiga awal Rahasia Hujan memfokuskan narasinya pada interaksi Pandu, serta latar belakang karakternya. Dengan narasi yang menuturkan cuplikan kehidupan yang cukup biasa, sulit untuk mendapatkan sebuah ketegangan ketika tidak ada pertaruhan yang nyata. Memang di beberapa kesempatan terdapat beberapa foreshadowing, namun ini sendiri tidak dapat diwujudkan sebagai sebuah pertaruhan. Bahkan ketika cerita mencapai klimaksnya, jelas sekali tidak pertaruhan yang terjadi karena sedari awal si karakter utama tidak pernah mempertaruhkan sesuatu. Lantas, genre apa seharusnya Rahasia Hujan bertempat?
Melihat dari konflik yang terjadi, saya bisa mengatakan Rahasia hujan termasuk kedalam drama dan tragedi (kurang lebih saya setuju dengan resensi singkat ini). Tindakan karakter utama tidak lebih dari sekedar dirinya mengikuti apa yang kepribadiannya akan lakukan di situasi tersebut. Kemalangan yang menimpa mereka merupakan sebuah peristiwa yang tidak diantisipasi sebelumnya. Meski salah satu karakter bisa melihat apa yang akan terjadi, upaya yang dia lakukan sama seperti karakter utama, melakukan tindakan yang sesuai dengan kepribadiannya. Menjadi semakin ironis ketika si karakter meski bisa melihat apa yang akan terjadi, namun pada akhirnya tidak melakukan apa-apa, memperkuat elemen tragedi dari Rahasia Hujan.
Terlepas dari persoalan genre yang saya anggap sudah cukup dibahas, bagaimana dengan kualitas narasinya sendiri? Salah satu kata yang terbesit pertama kali adalah klise. Iya, saya bisa menyebutnya klise ketika awal cerita sudah dimulai dengan hadirnya seorang murid pindahan, yang kemudian duduk disebelah karakter utama (tidak jelas apa mereka duduk di barisan paling belakang). Tidak hanya premis dan awal cerita, serangkaian hal klise lainnya dapat ditemukan sampai akhir buku. Bahkan di titik klimaks narasi, saya seperti merasa deja vu, seolah sudah melihat peristiwa yang sama meskipun saya yakin ini pertama kalinya saya baca Rahasia Hujan.
Saya memang kerap kali mengatakan bahwa sesuatu yang klise tidak secara inheren buruk. Dia hanya digunakan berulang kali sehingga menjadi sangat mudah ditebak, monoton, seolah narasi yang ada merupakan dandanan ulang belaka dari narasi lain. Apakah Rahasia Hujan termasuk kedalam cerita klise seperti itu? Sayangnya, iya. Rahasia Hujan menggunakan cukup banyak tropes yang sudah mudah ditebak tanpa memberikan twistdan perubahan tersendiri yang berarti dalam pelaksanaannya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, membaca Rahasia Hujan seolah merasa deja vu, walaupun kita yakin baru membacanya pertama kali.
Sebuah cerita yang klise dalam penurunan kualitasnya sering dibarengi dengan penulisan yang buruk. Biasanya ini terjadi ketika penulis tersebut tidak berpengalaman, mencoba mengambil unsur dari sebuah secara langsung begitu saja sehingga menghasilkan sebuah momen yang terasa dipaksakan, membuat pembacanya merasa enek ketika membacanya. Saya bisa bersyukur Rahasia Hujan tidak termasuk kedalam cerita seperti ini. Diisi klise memang, tapi Rahasia Hujan merupakan novel yang ditulis dengan baik. Dialog antar karakter berlangsung alami sebagaimana juga penulisan peristiwa yang melingkupi dialog tersebut. Setiap momen dieksekusi dengan baik, mereka seperti terjadi tepat pada saatnya sesuai dengan foreshadowingyang sudah disiapkan sebelumnya. Tidak ada sekalipun saya merasa enek atau menemukan momen cringeworthy sebagaimana Rahasia Hujan diselesaikan sekali duduk, tanpa pernah menutup bukunya sampai selesai.
Sekarang kembali sejenak kepoin yang saya bawa diawal, perihal apa yang hendak dicapai oleh Rahasia Hujan. Sebagai sebuah cerita tragedi Rahasia Hujan memiliki banyak kekurangan dampak emosional dalam beberapa aspek narasi. Kekurangan ini muncul sebagai akibat dari sedikitnya usaha dalam mempersiapkan momen emosional tersebut. Setelah klimaks cerita terjadi, penulis berupaya menjadikan klimaks terasa lebih kuat dampak emosionalnya dengan memunculkan sebuah penyesalan, yang pada akhirnya ini seperti sebuah upaya yang percuma karena penyesalan tersebut datang dari seorang karakter yang tidak (pernah) relevan. Bahkan dampak emosional yang dihasilkan dari kondisi karakter utama sendiripun tidak memberikan sebuah kesan yang berarti.
Meski masuk kedalam genre drama-tragedi, Rahasia Hujan masih berbagi beberapa elemen dengan dua novel thriller yang saya kaitkan di awal. Salah satu elemen tersebut adalah adanya seorang karakter dengan gangguan psikologis sebagai bagian dari pusat cerita. Dalam sebuah cerita seperti, kekuatan dari karakter tersebut bisa begitu penting dalam menentukan kualitasnya. Bahkan ia sering kali menjadi defining pointbagi cerita tersebut, seperti halnya karakter Hannibal Lecter bagi buku-buku Thomas Harris. Agar kuat, karakter ini harus digali motif apa yang mereka miliki, tidak peduli seberapa rusaknya psikologis yang mereka miliki pada saat itu. Pada dasarnya, tidak akan ada asap tanpa api; orang menjadi gila bukan tanpa sebab. Menuliskan hal yang membuat karakter seperti ini bisa sampai kepada kondisi psikologis mereka merupakan sebagian besar dari pencapaian yang harus dilakukan.
Karakter dalam Rahasia Hujan yang memenuhi posisi ini adalah Anggi. Meski saya sudah menuliskan bagaimana pentingnya posisi dia dalam cerita seperti Rahasia Hujan, sayangnya dia tidak bisa memenuhi perannya dengan baik. Bukan karena apa yang dia lakukan berhasil tercapai atau tidak, melainkan karena motivasi, dan latar belakang psikologis sedikit sekali di eksplorasi. Fusama hanya menunjukkan bagaimana Anggi bisa mencapai kondisi psikologis hanya karena patah hati dan keluarga yang kurang bahagia belaka. Bukannya saya mengatakan patah cinta tidak bisa menjadi penyebab dimana seseorang kehilangan akal sehatnya, namun dalam Rahasia Hujan ini eksposisi yang diberikan mengenai hal tersebut hanya dilakukan seadanya. Mungkin Fusama ingin mengaitkannya dengan kondisi keluarga Anggi yang menyebabkan patah cinta menjadi sebuah katalis yang begitu hebat. Ternyata sayangnya, dia hanya kekurangan kasih sayang karena ayahnya curiga dia anak haram, dan meski begitu, ayahnya dalam cerita sama sekali tidak diberi tanda apa-apa pernah melukai putrinya tersebut secara fisik ataupun psikologis. Melihat semua hal ini bisa menyebabkan sebuah kejadian yang skalanya bisa sama buruknya dengan pembunuhan berantai Buffallo Bill seperti melakukan pemakaman lengkap dengan ta’ziah hanya untuk seekor kucing.
Rahasia Hujan memang bukan novel drama-tragedi, apalagi thriller terbaik diluar sana. Tapi dia masih layak untuk dibaca dan dinikmati untuk mengisi waktu luang ditengah kesibukan sehari-hari. Dalam hal tersebut, Rahasia Hujan bisa menjadi pengisi waktu luang yang jauh lebih baik daripada berselancar tidak berkenjuntrungan di internet. Hanya saja mungkin setelah selesai membacanya, Rahasia Hujan bisa perlahan-lahan terlupakan.