[Resensi] Allloy of Law

Judul : Alloy of Law
Pengarang : Brandon Sanderson
Penerbit : Gollancz
Tahun : 2011
Genre : Fantasy, Steampunk
Tebal : 327
Sinopsis
Tiga ratus tahun berlalu, sekarang Scadrial sedang menyongsong peradaban modernitas. Listrik, kereta api, hingga pencakar langit menghiasi kota Ellendel. Di tengah kemajuan itu selalu ada yang dikorbankan. Mereka yang terbuang ke pinggir-pinggir peradaban, menggali tanah untuk membangun modernitas, saling berebut dan berkelahi satu sama lain, sebuah tempat tanpa hukum dimana yang kuat menginjak yang lemah. Waxillium Ladrian, pewaris Bangsawan Ladrian meninggalkan kemapanan yang dia miliki untuk menegakkan keadilan di tempat tanpa hukum. Hanya setelah dua puluh tahun dia kembali ke peradaban, hanya untuk menemukan alasan lama mengapa dia meninggalkan Ellendel pertama kali.

Ulasan
Setelah satu trilogi dilahap, saya masih merasa popularitas dan pujian yang diberikan pada Brandon Sanderson di dunia internet masih berlebihan (untungnya belum separah Aki-Aki Marteen). Betul memang tulisannya sangat menghibur, namun diluar itu sebenarnya diluar itu tidak ada yang patut dipuji. Dari segi penulisan apa yang dia lakukan sering berlawanan satu sama lain. Ketika dia mengambil keputusan yang satu, keputusan lain yang dia ambil sebelumnya jadi kehilangan bobotnya. Bahasa yang dia gunakan sering kali berasa berada diluar dari “masa” yang ingin dia bentuk dalam ceritanya.
Membaca trilogi Mistborn membuat saya berpikir ulang untuk membaca karya-karyanya yang lain, melihat premis dan setting yang ditawarkan terasa serupa, bahkan dengan halaman yang lebih tebal. Kata-kata yang terlalu modern kerap menyempil dalam ucapan karakter begitu mengganggu seolah ingin mengingatkan betapa artifisialnya cerita yang lagi dibaca. Tidak jarang saya berpikir bahwa Brandon Sanderson akan mendapatkan banyak manfaat dengan memindahkan setting cerita fantasinya keluar dari pakem Tolkienis yang terjebak dalam medieval-statis, ke sebuah zaman yang mungkin tidak terlalu modern namun masih menawarkan romantisisme.
Sepertinya jauh sebelum saya membaca trilogi aslinya, Brandon Sanderson sudah memikirkan persoalan yang sama persis, entah dia sadar dengan persoalan itu atau hanya kebetulan belaka. Dia memutuskan untuk membawa dunia yang sudah dia rakit dalam trilogi Mistborn, maju kesebuah peradaban yang lebih modern. Tidak lagi terjebak pada nuansa serta teknologi medieval atau renaisans statis, dunia fantasinya kini memiliki pistol revolver, listrik, dan kereta api. Brandon Sanderson telah membawa fantasi kesebuah era modern abad 18-19, zaman Victoria, dan dengan begitu dia juga secara langsung memasukkan sebuah era setara yang dapat ditemukan dari negara asalnya, western.
Karakter dalam Alloy of Law memang seorang allomancer, pengguna “sihir” berbasis metal yang nampaknya bisa melakukan apa saja dimana ada logam. Tapi kali ini tidak ada lagi omnipotensi kekuatan yang dimiliki oleh karakter utama. Dia masih menggunakan pistol untuk menjatuhkan lawan, allomancy digunakan untuk menghantamkan peluru revolvernya atau orang lain menjauhi dia. Tidak hanya dengan kehadiran revolver dan aksi pistol, nuansa western semakin lengkap ditampilkan melalui premis utama Alloy of Law yang merupakan ciri khas dari periode waktu ini yaitu perampokan kereta.
Namun yang patut dipuji dari Brandon Sanderson dalam menghadirkan suasana era Victoria sesungguhnya adalah detil-detil kecil yang dia tampilkan seadanya sepanjang buku. Salah satu yang paling terlihat mungkin tidak begitu subtil, namun dalam menyusunya hal tersebut masih membutuhkan kreativitas di tangan Sanderson. Hal yang dimaksud itu adalah gambar koran yang beredar di dunianya di beberapa halaman tertentu. Apa yang ditampilkan hanyalah cuplikan dari keseluruhan koran, namun membacanya, bahkan sekedar melihatnya saja kita tahu bahwa riset telah dilakukan agar dapat mereplikasi halaman muka yang persis dengan koran dua abad yang lalu. Tapi contoh detail yang lebih nyata adalah bagaimana Sanderson menggunakan kata broasheetuntuk merujuk pada koran. Mengingat tendensi menggunakan kata-kata modern di buku-buku sebelumnya, maka tidak mengherankan apabila Sanderson akan menulis newspaper begitu saja. Kali ini dia memilih satu kata ini dengan cermat untuk menghadirkan suasana era Victoria yang otentik. Bahkan kebiasaan Sanderson menggunakan kata-kata yang kelewat modern malah memberikan manfaat lebih sebagaimana kata-kata modern yang digunakan sebegitu bebasnya oleh para kelas atas semakin menguatkan atmosfir dan setting yang digamabarkan Alloy of Law.
Ada satu kejutan yang sama sekali tidak saya sangka dapat ditemukan dalam Alloy of Law. Kejutan ini berasal dari kemampuan seorang karakter untuk “mencuri” aksen orang lain, membuatnya lebih mudah untuk menipu dan berbaur seolah dirinya sejak dulu merupakan bagian dari mereka. Sungguh, dari cara Sanderson menampilkannya kemampuan yang seharusnya biasa ini terasa magis dan fantatis. Malahan hal tersebut lebih menyerupai sebuah sihir meski dalam tindakannya sama sekali tidak melibatkan unsur magis sekalipun, daripada allomancy yang Sanderson sengaja ciptakan untuk menjadi sihir dalam ceritanya. Tidak hanya itu, perkara akses ini juga merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh era Victoria. Di era tersebut dimana imigrasi menjadi hal biasa berkat perkembangan teknologi, menyebabkan para imigran membentuk kantung tempat tinggal sendiri, dan dalam prosesnya menciptakan aksen khas yang merangkap menjadi identitas di tengah negeri dimana mereka kesulitan untuk berbicara dengan orang lain. Secara tidak sengaja, Sanderson telah menciptakan “sihir” khas yang hanya terasa magis, dan signifikan di era Victoria, sebuah kejutan yang membuat saya kagum meski ini dicapainya secara tidak sengaja.
Pindahnya setting waktu memang sangat membantu Sanderson dalam menghadirkan sebuah karya yang terasa lebih solid secara garis besar. Sayangnya setelah beberapa tahun trilogi Mistborn selesai, kebiasan buruk Sanderson lainnya masih nampak, bahkan beberapa terasa semakin gamblang dan menunjukkan sebuah karateristik dia yang buruk sebagai penulis. Salah satu dari kebiasaan buruk itu adalah bagaimana Sanderson tidak dapat menggunakan skala dengan benar. Skala kali ini bukan dalam cakupan ruang, namun waktu. Di dalam Alloy of Law hanya terpaut tiga ratus tahun dari trilogi asli Mistborn. Apa yang dipermasalahkan bukanlah perkembangan teknologi yang terasa cepat, karena sesungguhnya untuk hal ini sudah Sanderson persiapkan di buku terakhir dari trilogi aslinya. Menjadi masalah ketika rentang waktu 300 tahun itu diperlakukan seolah-olah bagai kejadian kuno di era berabad-abad silam. Beberapa unsur cerita dari trilogi aslinya disebut sebagai mitologi. Membacanya terasa menggelikan karena waktu yang berlangsung hanya 300 tahun, dan ini tidak memperhitungkan adanya metode pencatatan terstruktur yang sekiranya bisa membuat “mitos” menjadi fakta. Sanderson disini seperti terjebak oleh karyanya sendiri, atau mungkin dia tidak sadar dan memperhitungkan apa yang dia tulis.
Kalimat terakhir yang saya tulis barusan, Sanderson sebagai seorang penulis yang memiliki kesadaran rendah terhadap karyanya sendiri, merupakan sebuah kesimpulan yang membuat saya begitu kritis dengan Alloy of Law dan tidak dapat menjadikannya favorit pribadi meskipun dia mengandung elemen steampunk sekaligus bersetting di ala era Victoria. Kesimpulan itu bukan sesuatu yang saya tarik begitu saja dengan mudahnya. Sejak dari membaca trilogi asli kesan tersebut muncul di dalam kepala karena kebiasaannya menyelipkan kata-kata modern. Namun mengingat Abercrombie menjangkit penyakit yang sama, hal itu saya anggap lumrah. Kesimpulan keras tersebut saya tarik setelah munculnya sebuah kalimat ala feminis generasi ketiga yang diucapkan oleh seorang karakter perempuan. Secara umumnya, dia mengatakan tentang aktualisasi diri wanita, dengan mengambil karakter utama dari trilogi asli sebagai contoh. Mungkin ini tidak menjadi persoalan apabila muncul di sebuah fantasi Victoria belaka, apalagi memang peran gender merupakan salah satu masalah yang ada pada era itu. Namun hal tersebut mustahil menjadi sebuah persoalan di dalam dunia Mistborn. Sungguh konyol untuk mendengarkan sebuah kalimat yang menggunakan kata aktualisasi ketika sosok legendaris yang ada didunia tersebut adalah wanita. Ini semakin absurd ketika memperhitungkan status nyaris-pendewaan yang diterima, rentang waktu yang singkat, dan seorang karakter yang menamai senjatanya menggunakan nama Vin. Dengan sedemikian hebatnya pencapaian yang dilakukan oleh Vin di trilogi aslinya, sungguh patut dipertanyakan apabila dia tidak menjadi impian banyak perempuan di masa setelahnya selaiknya bocah laki-laki yang bermimpi menjadi pahlawan.
Begitu banyak sebenarnya potensi yang Sanderson dapat capai dengan setting Victoria dan western dibandingkan terjebak di dalam medieval-statis Tolkienis, apalagi terlihat bahwa dia tidak tanggung-tanggung untuk melakukan riset agar dapat menciptakan atmosfir dan penggambaran suasana yang otentik sesuai zamannya. Tapi selama beberapa tahun dia menulis, tidak ada perubahan berarti dari segi substansi. Dia masih seorang penulis yang begitu saja menuliskan hal paling klise yang ada di kepalanya tanpa mengindahkan apa yang sudah tertuang di dalam karyanya sendiri. Mau menghadirkan suasana Victoria se-steampunk apapun, sulit untuk menerima Alloy of Law apa adanya bahkan sebagai karya yang menghibur ketika si penulis sendiri tidak sadar dengan apa yang ditulisnya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: