Pengarang : Brandon Sanderson
Penerbit : Tor Fantasy
Tahun : 2009
Genre : Fantasy
Tebal : 748
Sinopsis
Menumbangkan Lord-Ruler seolah nampak seperti menyelamatkan dunia. Namun peradaban jatuh seiring dengan kematiannya, dan setelah usaha untuk selamat melalui gejolak peperangan yang mengancam keberadaan Vin serta masyarakat yang dia bangun, tanpa sadar sebuah kekuatan kuno terbangun. Sebuah kekuatan, musuh tua yang diperangkap sekarang telah bebas untuk menagih apa yang dijanjikan padanya. Hanya melalui petunjuk yang ternyata ditinggalkan Lord-Ruler di penjuru tanah kekuasaannya, Vin dan Ellend berharap dapat mengalahkan musuh tersebut.
Ulasan
Dua tahun sudah berlalu semenjak saya mulai serius mendalami dunia baca-membaca atau literatur. Puluhan buku saya lahap dalam kurun waktu tersebut, silih berganti antara kumcer, novella, novel panjang hingga trilogi. Karena saya memilih buku bacaan mengikuti saran kawan terpercaya atau terbujuk oleh kritik yang berargurmen kuat, sikap saya terhadap suatu buku biasanya tetap. Ketika saya membaca buku jelek yang sengaja saya baca untuk melihat apa keburukannya, sikap saya akan sama, bahwa buku tersebut tidak dapat memenuhi kualitasnya karena alasan-alasan demikian yang terlampir didalamnya. Begitu juga ketika membaca buku bagus, bahkan ketika ada perbedaan dengan rekomendasi awal atau ekspetasi, sikap saya tidak jauh berbeda.
Namun baru pada kali ini saya merasakan hal yang berbeda. Dua tahun saya membaca buku dan Hero of Ages adalah pertama kalinya memberi sebuah kesan yang sangat ambivalen. Dia membawa tema yang menarik, namun juga yang membosankan. Dia membuat saya terus membalik halaman, tapi bisa ditebak apa yang ada dihalaman berikutnya. Dia melakukan eksekusi premisnya dengan baik, akan tetapi tidak ada hal yang benar-benar berkesan. Hero of Agesmerupakan sebuah buku yang sangat ambivalen bagi saya.
Berbeda dengan The Well of Ascension yang saya puji berkat premis dan temanya yang menarik, Hero of Ages mengambil gerakan balik kanan. Sanderson merangkul kembali premis standar yang biasa ditemui dalam cerita fantasi, ancient threat atau ancaman kuno, lengkap dengan ramalan akan kedatangannya kembali dari masa lampa dan tentu saja juru selamat disertakan dalam ramalan tersebut. Vin dan karakter utama lainnya bergerak kesana kemari untuk menghentikan usaha sang ancaman kuno dalam menghancurkan dunia.
Sebuah langkah mundur nampaknya, meski demikian saya tidak merasakan kekecewaan yang berarti. Ini terjadi karena sepanjang dua buku sebelumnya, Sanderson secara samar telah meletakkan berbagai petunjuk yang samar mengenai apa yang akan terjadi di dalam buku kedua. Sehingga ketika arah triloginya seolah telak balik kanan sekalipun, hal itu terasa seperti sebuah perkembangan natural bagi trilogi ini. Tidak hanya itu, meskipun premis yang digunakan terlihat standar, Sanderson menambah sedikit twist kedalamnya yang membuatnya bisa menjadi lebih menarik.
Di sebuah ulasan tahun lalu saya pernah menulis sedikit panjang mengenai struktur sebuah trilogi. Salah satu yang ideal adalah bagaimana setiap buku dalam trilogi tidak sekedar menjadi prolog-penyambung-epilog belaka, namun bisa dinilai dari kualitas mereka sendiri sebagai satu buku. Dalam hal ini, Sanderson sudah memenuhi kriteria tersebut. Setiap bukunya merupakan arc tersendiri yang dimulai dan diakhiri pada buku itu juga. Buku pertama dengan usaha menumbangkan Lord-Ruler; buku kedua yang menceritakan upaya untuk bertahan pasca kejatuhannya; dan akhirnya di buku terakhir dimana para karakter utama berusaha menghentikan ancaman kuno sebagai musuh yang sesungguhnya.
Meskipun saya mengatakan bahwa setiap buku dalam sebuah trilogi idealnya dapat dinilai sendiri tanpa terikat buku lainnya, tentu saja harus ada sebuah penyambung yang menjadikan ketiga buku membentuk trilogi. Jangan sampai ketiga buku itu terlalu berdiri sendiri sehingga malah menjadi buku serial daripada trilogi. Akan tetapi karena Brandon Sanderson berangkat dari tradisi fantasi trilogis Amerika Serikat, faktor ini tidak terlupakan. Malahan, tepat di hal inilah yang membuat saya benar-benar bisa terhibur oleh The Well of Ascension.
Sepanjang trilogi ini Sanderson meletakkan berbagai plot device dan tanda atau hint, terutama di buku pertama dan keduanya. Plot device ini awalnya hanya nampak memiliki signifikansi dengan narasi atau plot yang sedang berjalan pada buku itu saja. Kemudian di buku ketiga, ternyata plot device dan hint memiliki kaitan dengan apa yang terjadi di buku ketiga yang merupakan epilog dari trilogi ini. Kesemua plot device dan hint tersebut terjalin dan membentuk sebuah konklusi yang solid sehingga ketika pembaca mencapai momen tersebut, kita akan merasa sangat puas.
Memang kemampuan Sanderson dalam mengeksekusi sebuah konklusi yang dibangun melalui berbagai plot device dan hint yang disebar merupakan hal yang patut dipuji sendirinya. Akan tetapi hal itu saja sebenarnya tidak akan membuat saya merasa ambivalen terhadap trilogi ini dalam gambaran besarnya. Kemampuan menulis Sanderson benar-benar dia ditunjukkan disini dengan meletakkan hampir semua plot device dan hint tersebut secara samar, atau subtle. Dia tidak menunjukkan plot device mana yang akan menjadi penting dengan foreshadowing yang gamblang. Ketika hal yang ditandai terjadi dan plot device di buku sebelumnya ternyata masih memiliki kaitan penting dengan apa yang terjadi sekarang, kita akan berteriak “aha!”, kemudian berpikir mengangguk bahwa sudah diberi petunjuknya secara samar. Sebagai seseorang yang percaya dengan seni kesamaran dalam penulisan, apa Sanderson tunjukkan di trilogi ini menunjukkan kemampuan menulis yang dia miliki.
Trilogi Mistborn menunjukkan kemampuan menulis yang dimiliki oleh Brandon Sanderson. Di saat yang bersamaan juga, Mistbornmenunjukkan kelemahan gamblang yang dia miliki, atau paling tidak kesalahan keputusan yang dia ambil bagi trilogi yang dia tulis ini sehingga saya merasa sangat ambivalen. Kesalahan tersebut adalah skala kejadian atau event atau bahkan skala keseluruhan yang ada di trilogi Mistborn ini. Pada buku pertama sesungguhnya saya merasa bahwa segala kejadian sudah cukup, meskipun memang ada yang patut dipertanyakan seperti mudahnya merektrut dan menyembunyikan pasukan pemberontak yang berjumlah sepuluh ribu orang. Kemudian skala narasi dalam Mistbornterasa semakin lepas berbarengan dengan semakin majunya jalan cerita. Hal ini sangat terasa gamblang terutama di bagian akhir buku ketiga, dimana skala kejadian seharusnya meliputi dunia, namun penggambaran yang ada seolah hanya terjadi di lingkup area yang kecil. Kejadian terjadi begitu cepat, begitu terburu-buru sehingga skala tidak diindahkan demi kemudahan belaka, dan berjalannya plot belaka.
Ambivalensi terhadap tidak pas skala ini bisa terjadi karena disaat bersamaan, Sanderson bisa menunjukkan skala kejadian yang terasa pas. Di buku ketiga, kurang lebih ada tiga plot yang berjalan berbarengan. Ketiganya memiliki skala konflik yang berbeda. Jalur plot yang saya terasa pas dan digambarkan dengan baik terjadi pada jalur plot yang memiliki skala intrapersonal. Ketika Sanderson berantakan dalam menggambarkan konflik dalam skala yang besar (dan interpersonal terutama romance), dia bisa menggambarkan konflik pribadi atau interpersonal dengan pas, dan terasa nyata. Membaca sebuah bagian narasi yang ditulis dengan baik, ditengah sebuah bagian narasi yang lebih besar dan dianggap penting namun ditulis dengan buruk rasanya seperti memakan sebuah burger yang seluruhnya enak, namun dagingnya basi.
Tadi saya telah memuji kemampuan menulis Sanderson karena dia bisa meletakkan plot device, hint atau foreshadowing, dengan penuh kesamaran. Namun disaat bersamaan, Sanderson juga memiliki kebiasaan menulis yang patut dikritik karena kesalahan ini merupakan kesalahan pemula yang kerap dimiliki oleh penulis fantasi kebanyakan. Kesalahan tersebut tampak di buku kedua dan ketiganya ketika dia menjelaskan ulang cara kerja sihirnya, dan sebutan bagi para jenis penyihirnya secara panjang lebar. Saya bisa mengerti apabila dia menjelaskan ini di buku pertama, dan lagi dibuku tersebut, Sanderson melakukannya lebih baik melalui dialog dan secara alami. Di buku kedua dan ketiga dia menuliskan penjelasan dengan menggunakan paragraf deskripsi eksposisi. Tidak hanya terasa merusak aliran narasi, berada di luar tempat yang seharusnya. Lebih lucu lagi karena penjelasan yang Sanderson lakukan benar-benar menjadi redudansi ketika dia menyediakan Ars Arcanum, atau kamus istilah yang dia letakkan di belakang setiap novelnya.
Trilogi Mistborn ini memang sebuah karya yang rasa kualitasnya begitu bercampur. Dia memiliki sistem sihir yang kaku, dan digunakan hanya untuk bertarung, namun adegan action-nya menarik untuk diikuti. Buku pertama dan ketiga memiliki premis standar fantasi kontemporer, akan tetapi buku keduanya sangat berbeda. Tema yang dieksplorasi dalam skala personal dieksekusi dengan baik, tapi begitu skalanya diperbesar usaha Sanderson jadi berantakan. Meski begitu banyak hal lainnya yang begitu menganggu saya (seperti bahasa yang sering kali kelewat modern), pada akhirnya saya tetap menyelesaikan trilogi yang bagi saya cukup menghibur.