Pengarang : Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2014
Genre :Historical-Fiction, Short-Stories
Tebal : 154
Sinopsis
Indonesia, atau dulu dikenal sebagai Hindia Belanda memiliki sejarah panjang yang penuh dengan konflik kolonialisme. Iksaka Banu melalui khazanah sejarah Hindia Belanda yang kaya tersebut, menceritakan kembali tentang Hindia Belanda melalui 13 cerpennya yang dia terbitkan sejak tahun 2007. Di mulai dari masa kemerdekaan, dan mundur hingga pendaratan Cornelis de Houtman di tanah Sunda, 13 cerpen Iksaka Banu menceritakan seluk-beluk Hindia Belanda dalam detail yang kaya.
Ulasan
Menulis cerita fiksi-historis sering memberikan tantangan bagi penulis, yang mungkin akan sulit ditemui dalam fiksi lain. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana seorang penulis harus benar-benar menghidupkan kata historis. Ini bukan perkara mudah seperti genre lain yang meskipun harus mengikuti aturan main yang sama, mereka bisa lolos tanpa luka ketika hal tersebut tidak terpenuhi (bahkan diskusi atas genre suatu fiksi cukup sering terjadi). Fiksi-historis tidak memiliki kemewahan yang sama karena dia memiliki tolak ukur atas keotentikan narasi yang dibangun melalui sejarah.
Ketika kita membicarakan sejarah, begitu banyak faktor yang terlibat. Dia tidak hanya poin-poin fakta atau kejadian, tokoh, tempat, dan tanggal belaka. Mereduksi sejarah menjadi hal-hal tersebut sama saja dengan upaya menulis sebuah buku sejarah non-fiksi (dan ini hanya dilakukan oleh sejarawan yang buruk). Sejarah lebih dari itu sebagaimana dia mencakup manusia secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa manusia merupakan hal terpenting dalam menulis sebuah fiksi-historis.
Manusia yang dimaksud disini tentu saja bukan tokoh tertentu yang namanya secara spesifik tertulis dalam sejarah. Makna dari manusia disini tidak merujuk siapa melainkan bagaimana. Bagaimana manusia dalam konteks sejarah mencakup begitu banyak hal. Kepercayaan, bahasa, hingga psikologis merupakan elemen yang mengkonstitusikan pengertian manusia yang dimaksud. Fiksi-sejarah baru akan dapat menghidupkan kata historis ketika dia bisa mewujudkan manusia dari periode tersebut, berbarengan dengan fakta sejarah yang akurat (meski seringkali ada perbedaan intepretasi).
Berbicara soal fakta sejarah, sering kali fiksi-historis melenceng dari catatan sejarah yang kebanyakan dilakukan antara karena atas dasar keinginan untuk memberikan perbedaan interpretasi. Ada juga yang menggabungkan dengan elemen fiksi yang lebih kuat, semisal karakter fiktif yang cukup sentral dalam fiksi-sejarah tersebut. Karakter fiktif tersebut selama dia bisa bertingkah laku seperti manusia pada zamannya dan tidak mempengaruhi karakterisasi tokoh historis yang muncul kepada interpretasi yang terlalu melenceng, bisa menjadi elemen fiksi yang hebat, dan terkadang bisa memperkuat rasa hidup dari kata historis.
Cerpen yang ditulis Iksaka Banu dalam kumcer ini sebenarnya tidak ada satupun yang berbasis pada kehidupan seorang tokoh sejarah sebagai sentralnya (Diponegoro muncul di satu cerita, namun kemunculannya sangat singkat. Untung Suropati menjadi sentral di salah satu cerpen, namun sudut padang yang diambil dari seorang Belanda), atau cuplikan momen penting peristiwa bersejarah (kecuali cerita yang terakhir, namun tokoh yang aktif terlibat pun sepenuhnya fiksi). Semuanya merupakan cerita fiksi yang menggunakan periode tertentu dalam sejarah Hindia Belanda sebagai latarnya.
Meskipun demikian, cerpen Iksaka Banu benar-benar menghidupkan kata historis dari fiksi-historis. Ketika membaca, saya merasa benar-benar kembali ke masa lalu, ke masa Hindia Belanda tertentu dimana setiap cerpen mengambil settingnya. Mengingat bahwa setiap cerpen Iksaka Banu mengambil waktu sejarah yang berbeda, namun setiap kali dia bisa menghantarkan saya pada masa lalu merupakan suatu pencapaian yang luar biasa. Pencapaian ini bisa terjadi karena Iksaka Banu, dalam cerpen-cerpennya bisa menghadirkan manusianya secara nyata.
Manusia dalam cerpennya benar-benar terasa nyata seolah kita melihat potret atau rekaman langsung pada terwujud berkat kepiawaian Iksaka Banu dalam meneliti periode sejarah yang akan dia jadikan latar, lalu mengolahnya menjadi karakter yang bermain didalam narasinya. Setiap karakter dalam cerpen Iksaka Banu berperiaku dan bertutur kata tepat seperti pada masanya. Pebendaharaan kata yang begitu kaya dan tepat ini merupakan buah hasil penelitian yang dilakukan Iksaka Banu atas sejarah secara menyeluruh.
Namun cerpen-cerpen dalam Semua Untuk Hindia tidak akan sedemikian hidup apabila hanya aspek berperilaku dan tutur kata saja yang dilihat, meskipun keduanya ditampilkan secara baik. Mereka membutuhkan konteks agar bekerja, dan konteks ini terdapat dalam plot atau narasi. Disinilah Iksaka Banu kembali bersinar, sebagaimana dia bisa memberikan konteks yang tepat melalui plot atau narasinya dengan menghadirkan permasalahan yang biasa ditemui oleh manusia pada periode tersebut. Mulai dari hubungan nyai dengan tuannya, keturunan Eropa yang besar di Hindia Belanda sepanjang hidupnya, hingga posisi peranakan indo yang serba tanggung. Hal-hal ini tidak hanya memberi konteks yang tepat atas perilaku serta tutur kata pada karakter, namun juga disaat yang bersamaan membentuk sisi psikologis mereka yang terasa nyata menyerupai manusia pada masanya.
Kemampuan Iksaka Banu dalam mewujudkan manusia pada periode sejarah dimana cerpennya mengambil setting benar-benar merupakan sebuah talenta tersendiri. Terbukti, dia bisa membangun latar cerita yang sangat nyata meskipun mereka cerita pendek yang sangat dibatasi oleh jumlah halaman. Berkatnya, cerpen-cerpen Semua Untuk Hindia meski tidak seluruhnya memiliki endingyang pas, menjadi kumcer yang layak dibaca hanya untuk penggambaran ulang periode sejarahnya yang begitu hidup.
Ada satu hal yang saya sesalkan setelah membaca Semua Untuk Hindia. Penyesalan ini berkaitan dengan talenta Iksaka Banu sebagai seorang penulis. Menjadi penyesalan bagi saya ketika talenta Iksaka Banu ini tidak diwujudkan kedalam bentuk cerita yang lebih panjang. Meskipun cerpen-cerpennya sudah begitu bersinar berkat talentanya, saya yakin sebuah novel, atau paling tidak novella yang ditulis dengan caranya yang sama akan menghasilkan sebuah fiksi-historis yang fenomenal. Dengan ruang halaman yang lebih banyak, Iksaka Banu bisa lebih dalam lagi mengeksplorasi dan menampilkan psikologi karakternya yang sudah dapat dia lakukan secara baik melalui keterbatasan halaman cerpen.
Sekarang salah satu mimpi saya dalam dunia fiksi bukan hanya menunggu karya Susanna Clarke berikutnya, namun menunggu sebuah novel dari Iksaka Banu.