Judul : The First Law: Before They Are Hanged
Pengarang : Joe Ambercrombie
Penerbit : Orion
Tahun : 2007
Genre : Fantasy
Tebal : 570
Sinopsis
Bayaz, Magi Pertama memimpin kelima orang membentuk grup petualang paling tidak memungkinkan untuk pergi menuju ujung dunia, mengambil benda terlarang yang terkubur disana. Sand dan Glokta, ditunjuk menjadi superior Kota Dagoska untuk mengungkap konspirasi yang telah membunuh pendahulunya, dengan ancaman Gurkhul di depan gerbang. Sementara itu Kolonel West menemani Putra Mahkota Reynault untuk menangkis serangan orang utara, namun dengan pasukan paling buruk yang Union pernah lihat. Perlahan, rahasia dan konflik kuno mulai menyala dan menyelimuti dunia.
Ulasan
Semenjak diterbitkannya The Lord of The Rings, seperti terbenam di benak bahwa novel, terutama fantasi akan terasa lebih lengkap apabila ditulis dalam bentuk trilogi. Berbagai alasan disuarakan oleh penggemar fantasi, terutama aliran Tolkienis, bahwa panjang seperti itu dapat memberikan ruang lebih besar bagi penulis terutama untuk
worldbuilding. Alhasil, kita sering melihat berbagai novel fantasi dengan panjang luar biasa. Beberapa menjadi trilogi, mengikuti pengaruh utamanya. Namun ada yang mencoba lebih dengan menulis belasan volum untuk satu buah saga atau narasi, Melimpahinya dengan
worldbuilding sampai para penggemarnya menghafalkan setiap lokasi yang muncul beserta monster-monster ada (yang kadang sudah dirangkum oleh penulisnya sendiri menjadi bagian appendiks).
Worldbuilding menjadi kredo bahwa fantasi yang baik adalah fantasi yang bisa membangun dunianya. Padahal
tidak serta merta worldbuilding (yang berlebihan) itu bagus dalam fantasi, dan ironisnya beberapa cerita fantasi terbaik justru ditulis hanya dalam 200 halaman saja.
Apa yang ingin saya angkat bukan panjang cerita fantasi yang menjadi permasalahan internal dalam genrenya itu sendiri, walaupun masih ada kaitannya dengan yang saya katakan di awal tadi yaitu adanya pola pikir tertentu bahwa fantasi harus ditulis dalam bentuk trilogi agar bisa memuaskan. Pola pikir ini tentu saja menjadi destruktif bagi penulis dan genre fantasi itu sendiri. Terutama ketika ada kesalahan konsepsi atas bagaimana menulis sebuah buku –logi yang benar. Pola kesalahan yang muncul semenjak populernya The Lord of The Rings, sehingga melahirkan buku-buku fantasi dengan jumlah volum banyak yang sebenarnya tidak panjang tersebut sama sekali tidak dibutuhkan.
Kenyataan yang sering terlewat adalah The Lord of The Rings sebenarnya Tolkien tulis
tidak sebagai trilogi. Namun dia menulisnya sebagai satu buah buku besar yang direcanakan membentuk duologi dengan The Silmarillion. Namun Silmarillion dicoret dan The Lord of The Rings dipecah menjadi tiga volum atas alasan ekonomis oleh pihak penerbit. Pengetahuan yang tidak diketahui oleh publik pada tahun awal rilisnya The Lord of The Rings ini memberikan sebuah dampak yang sangat terlihat di penulis yang dipengaruhi oleh Tolkien. Dampak itu adalah bagaimana trilogi ditulis sebagai satu buku yang dipecah jadi tiga, bukan menulis tiga buku berbeda dengan satu tema atau narasi besar yang menyatukan ketiga buku tersebut.
Permasalahan yang ditimbulkan dari miskonsepsi tersebut adalah banyaknya buku kedua dari suatu trilogi, atau buku nomor berapapun terutama satu nomor sebelum buku klimaks yang menjadi lemah dalam narasinya. Buku kedua seolah hanya menjadi narasi penyambung antara buku pertama dengan buku ketiga. Tidak memiliki akar konflik karena itu ada dibuku pertama, sekaligus tidak ada klimaks karena itu bagian yang akan menjadi penutup di buku ketiga. Padahal build-up tanpa resolusi dan klimaks hanya akan meninggalkan kesan tidak memuaskan, yang muncul akibat menggantungnya narasi. Ini yang menjadikan banyak buku kedua, atau buku “penyambung” sering menjadi lemah.
Tidak hanya menciptakan buku yang lemah, miskonsepsi tersebut membuat banyak orang yang melakukan penbantahan atas kritsisme lemahnya salah satu buku(kebanyakan buku kedua) dari suatu –logi dengan mengatakan bahwa buku tersebut seharusnya dinilai secara utuh keseluruhan, menyertakan buku pertama dan ketiga. Menilai trilogi, bukan bukunya.
Mengatakan bahwa lemahnya suatu buku karena dia hanya bagian dari narasi lebih besar yang mencakup buku lainnya hanyalah argumen yang menujukkan bentuk penulisan yang buruk. Padahal sebuah buku itu harusnya dinilai sesuai merit buku itu sendiri terlepas dari kaitannya dengan buku lain, karena pada dasarnya buku tersebut tetap melalui proses penuilisan yang sama seperti buku-buku lainnya. Kalau memang buku kedua dari sebuah trilogi harus dinilai sesuai kaitannya dengan dua buku lainnya, mengapa tidak digabung saja sekalian menjadi satu buku besar?
Kekhawatiran atas ‘kutukan’ buku kedua dari sebuah trilogi ini sebenarnya cukup menghantui saya ketika membaca Before They Are Hanged. Walaupun dari kesan yang saya dapat dibuku sebelumnya berkata lain karena buku konflik yang ada memiliki konklusi yang definitif, kekhawatiran tetap ada selama membaca. Namun, kekhawatiran itu tidak terbukti karena Before They Are Hanged memiliki konflik sendiri disertai sebuah klimaks yang tidak menggantung.
Joe Ambercrombie menuliskan buku ini sama persis dengan buku buku sebelumnya, menggunakan multi-perspektif yang senantiansa berganti sesuai fokus cerita. Perspektif ada sudut pandang yang ada melanjutkan dari apa yang sudah dituliskan di The Blade Itself, namun itu bukan persoalan besar karena hanya foreshadowingyang diberikan atas konflik yang akan terjadi. Konflik yang dinarasikan Before They Are Hanged tidak memiliki ketergantungan atas narasi yang terjadi di The Blade Itself. Independesi narasi bisa dilihat dari bagaimana setiap arc cerita mencapai konklusi yang cukup definitif di akhir buku, dengan kualitas yang berbeda-beda pula.
Kualitas yang berbeda itu muncul dari bagaimana Joe Ambercrombie mengolah karakter yang terlibat di arc cerita masing-masing. Apabila di The Blade Itself dia bisa mengolah karakter cukup baik satu sama lain secara seimbang, disini mulai terlihat jarak kualitas antar karakter yang ada walaupun mereka mengalami konflik baru. Namun, nampaknya setiap konflik yang muncul di arc cerita memiliki bobot yang berbeda. Di arc cerita terbaik, konflik yang muncul menantang karakter mereka secara substantif, sehingga perubahan karakter yang terasa lebih bermakna dan berarti baik bagi pembaca maupun karakter itu sendiri. Sedangkan arc cerita yang buruk hanya menghadirkan konflik biasa, tidak mengenai tema narasi yang diangkat dan tidak menantang substansi para karakter. Tidak hanya konklusi yang ada menjadi tidak memuaskan, karakter yang terlibat pun terasa tidak berubah dan kalaupun berubah, hanya terjadi secara superfisial saja.
Sayangnya Before They Are Hanged walaupun memiliki merit sendiri atas narasinya, tidak memberikan perbedaan berarti dari segi penulisan. Tidak ada peningkatan yang nampak walaupun Before They Are Hanged ditulis setelah The Blade Itself terbit. Prosanya masih terasa terlalu campur aduk antara prosa berasa modern dengan yang terasa ‘tradisional’. Kata-kata yang terlalu modern tetap digunakan pula oleh karakter yang tidak tepat seperti factoleh para karakter northmen (mereka semua menggunakan kata fact hingga saya curiga bahwa kata tersebut awam dikalangannya, cukup aneh mengingat mereka saling membunuh bukan berdebat untuk melakukan pembuktian) sehingga semakin membunuh rasa fantasi yang harusnya bisa dimunculkan melalui prosa. Tapi terkadang ada saja prosa yang menawan, sehingga tempat yang seharusnya biasa saja, terlukiskan rasa keasingan dan fantastis melalui prosa tersebut. Dua paragraf ini mencontohkan sangat baik prosa macam yang Abercrombie seharusnya tambah di ceritanya:
“Ferro did not like it, this vast sameness. She frowned as they rode, peering left and right, In the Badlands of Kanta, the barren earth was full of features – broken boulders, withered valleys, dried up trees casting their clawing shadows, distant creases in the earth full of shade, brigth ridges doused in light. In the Badlands of Kanta, the sky above would be empty, still, a bright bowl holding nothing but the blinding sun in the day, the bright stars at the night.
Here all was strangely reversed
The earth was fetureless, but the sky full of movement, full of chaos. Towering clouds loomed over the plain, dark, and light swirling together into colossal spirals, sweeping over the grassland with raking wind, shifting, turning, ripping apart and flooding back together, casting monstrous, flowing shadows onto the cowering earth, threatening to crush the six tiny riders and their tiny cart with a deluge to sink the world. All hanging over Ferro’s shoulders, the wrath of God made real.”
Memang tidak sempurna karena adanya detil yang sayangnya merusak tone dari paragraf kedua, namun kedua paragraf ini secara kesatuan merupakan salah satu bagian terbaik yang Abercrombie tulis, dimana penulisannya mampu memberikan rasa asing sekaligus fantastis. Namun sayangnya ini jarang, dan lebih banyak prosanya yang terasa lurus atau bahkan menggunakan metafora modern yang terasa tidak sesuai:
“West felt his lip curling up as he watched them. Two gangs of children in a schoolyard could scarcely have behaved with less maturity.”
Before They Are Hanged tidak memiliki perbedaan yang begitu mencolok dari buku pertamanya, terutama dari segi tone cerita dan penulisan. Namun dari segi narasi, Before They Hanged membuktikan bagaimana buku kedua dari suatu trilogi dapat berdiri diatas meritnya sendiri, terlepas dari introduksi buku pertama dan konklusi buku ketiga. Membaca Before They Hanged memberi kita pengalaman menyelesaikan buku secara memuaskan, sekaligus membuat kita penasaran dengan konklusi besar buku ketiga.
Like this:
Like Loading...
Related
Bro, kalo mau beli-beli buku luar kayak gini di mana ya yang enak? Gue kalo mesen di kinokuniya suka lama soalnya
LikeLike
opentrolley.co.id atau periplus.com pilihan bagus. Harga keduanya lumayan kompetitif, terpercaya, sampai tempat waktu, dan menyediakan transfer bank lokal. Saya beli buku luaran dari sana. Mesen biasanya cuma kalau mau dapet buku dengan kover yang spesifik.
LikeLike