Sudah beberapa waktu ketiga buku ini berada di lemari saya dan tidak terjamah. Yang paling pertama tiba, Behemoth, harus menunggu beberapa bulan dalam pencarian saya pada buku pertamanya Leviathan. Setelah waktu berlalu, saya tidak kunjung menemukannya dan Goliath malah rilis terlebih dahulu. Frustasi, akhirnya saya beli juga di toko buku impor online karena toko buku impor kebanyakan sama saja ketersediannya dengan toko buku lokal. Walaupun Dantd bilang kalau saya sebaiknya naruh review buku interlokal yang benar-benar bagus saja disini, tapi karena obsesi saya pada steampunk itu sendiri dan untuk nambah jumlah post/update, ya udah tetap saya post disini.
Dan, ugh sampulnya bikin saya mual.
Leviathan Trilogy karangan Scott Westerfield ini merupakan novel YA, (walaupun saya tidak begitu setuju menyebutnya sebagai YA) yang mengisahkan tentang Pangeran Aleksandar, putra fiksional Archduke Franz Ferdinand dan Deryn Sharp, seorang perempuan Skotlandia yang menyamar sebagai lelaki agar bisa mengabdikan diri di Angkatan Udara, dalam perjalanan mereka menempuh Perang Dunia I yang di reka ulang antara dua kubu, yaitu Clankers dan Darwinist.
Perjalanan mereka tentu saja dipenuhi petualangan, aksi, tipu muslihat, serta sedikit politik. Ekspetasi saya terhadap buku awalnya tidak begitu tinggi (apalagi setelah membaca Perdido Street Station) dan hanya mengharapkan bumbu-bumbu steampunk yang ditawarkan. Tapi ternyata buku ini melebihi ekspetasi rendah saya dan cukup meninggalkan kesan di akhirnya.
Pertama-tama, saya akan sedikit menilik dari setiap bukunya.
Dan untuk menghindari lebih banyak ketidaknyamanan dari sampul ala YA di atas, saya akan tampilkan sampul hardcovernya yang JAUH lebih kece
Leviathan
 |
Siapa sih yang punya ide untuk menjadikan
sampul yang diatas sebagai sampul standar? |
Novel pertama dari trilogi ini, Leviathan, menceritakan awal mula dari keseluruhan cerita (tentu saja!). Fokus utamanya adalah bagaimana Pangeran Aleksandar dipaksa lari dari tanah kelahirannya yang disebabkan karena ayahnya mati terbunuh, dan dirinya diincar oleh paman eyangya sendiri karena ibu dia itu setengah rakyat jelata (masalah yang biasa ditemui di dunia feudal sih), sampai pertemuannya dengan Deryn Sharp (atau Dylan Sharp) dan “kapal” udara kebanggaan Inggris Raya, Leviathan.
Disini saya rasa keseluruhan penceritaan cukup baik, walaupun gak ada yang istimewa. Penulisannya pun konsisten dari awal sampai akhir, gak ada hal-hal aneh menyebalkan yang tertangkap dimata saya. Mungkin, beberapa hal yang cukup mengganggu adalah penggambaran perjuangan Deryn menyamar sebagai laki-laki diawal yang kadang hal itu sebenarnya, menurut saya, bukan aspek menyebalkan dalam penyamaran menjadi lelaki. Tapi karena gak dilarut-larutkan, ya sudah, biarkan itu berlalu dan berarti si pengarang tahu mana yang benar-benar harus dijadikan fokus dalam cerita dia. Satu lagi yang menurut saya cukup buruk dalam penulisan ceritanya ketika Alek keluar dan berdiri tepat dihadapan Zeppelin ketika walker miliknya ransek. Ini benar-benar seperti adegan yang kesannya agar keren aja karena, tetep aja gak masuk akal walaupun itu zeppelin akhirnya kebakar dan meledak. Dan penyebab terbakarnya Zeppelin itu lebih mengherankan lagi karena, bisa-bisanya kru zeppelin itu sendiri gak sadar kalau gas hidrogen mereka bocor. Mereka ini prajurit terlatih kan? Ini benar-benar aneh.
Hal yang cukup membuat saya kagum adalah konsistensi dan detil dari karakterisasi Aleksandar, Deryn, dan karakter lainnya. Sikap dan perbuatan yang mereka tunjukkan sepanjang cerita cukup konsisten dengan latar belakang yang telah disajikan oleh penulis. Aleksandar bersikap selayaknya pangeran semata wayang dari kaum bangsawan dan itu berdampak langsung pada ceritanya. Masalah karakterisasi sebenarnya ada satu dan itu cukup fatal. Masalah yang dimaksud adalah ketika Volger, tangan kanan ayah Alek, dengan mudahnya mengatakan bahwa dia penerus sah dan pantas bagi ayahnya bahkan setelah keributan dan kerepotan yang dilalui mereka karena sikap manja dan angkuh si Alek. Padahal disini Volger digambarkan sebagai seorang count yang penuh rencana dan setia pada ayahnya. Seharusnya gak semudah itu kan dia mengakui Alek apalagi setelah kegilaan yang disebebabkan oleh dia?
Dan hal lain yang medapat perhatian saya adalah, dalam buku walaupun jelas protagonisnya akan jatuh cinta, di buku pertama ini gak ada romance. Alek belum tahu identitas asli dari Deryn dan Dery sendiri gak menunjukkan apa-apa ke si pangeran. Satu hal yang patut diacungi jempol, mengingat ini dikategorikan sebagai YA.
Lanjut ke buku kedua
Behemoth.
 |
Apa pantas kerja keras desainer sampul ini
harus dirusak sampul ala YA diatas? |
Petualangan kita berlanjut ke benua Asia sekarang, atau setidaknya antara Asia dan Eropa karena Aleksandar dan Deryn, bersama diatas Leviathan, berangkat menuju Istanbul guna membujuk mereka agar tetap netral (atau di tangan Inggris Raya) selama peperangan berlangsung. Dengan cara membawa mahluk raksasa laut terbaru kreasi para darwinis Inggris, Behemoth, untuk membantu revolusi Committee of Union and Progress dalam menggulingkan sultan Turki yang terlalu dekat dengan Kaiser Jerman.
Penulisan disini, tetap sama, konsisten, rapih, dan gak berbelit-belit. Hal yang tidak begitu buruk walaupun cukup disayangkan dari penulisan juga tidak ada yang begitu berkembang banyak. Hal yang bisa saya puji dari perkembangan yang hanya sedikit itu adalah bagaimana si penulis dapat membawakan rasa amerika yang begitu kental dalam setiap dialog diucapkan oleh Eddie Malone, wartawan dari Amerika Serikat. Tapi sayangnya ini juga membuat saya berpikir, mengapa dialog Deryn Sharp sendiri kurang berasa “british” atau “scottish”? Kenapa kosa kata yang dipakainya gak jauh dari Alek yang berasal dari Austria (yah, dia punya guru les yang hebat yang mungkin aja orang Inggris)?
Dalam plot cerita sebenarnya ini cukup seru. Tapi kesalahan fatal dalam penulisan membuat saya mengenyitkan dahi hingga sekarang. Pertanyaan besar itu adalah, bagaimana caranya dan bisa setiap etnis di Turki punya unit walker baja mereka sendiri? Ya, sebenarnya mereka cukup bagus karena bisa menunjukkan karakteristik dari masing-masing etnis, tapi ini sama saja setiap etnis yang ada disana, kalau di dunia nyata, punya kendaraan baja! Walaupun gak bersenjata, walker itu lebih berbahaya karena bisa menghantam orang dengan kaki dan tangannya. Dan lebih hebatnya lagi, tiap etnis sepertinya punya lebih dari dua. Hebatnya kalau nanti setelah lewat masa revolusi mereka bisa menahan menggunakan unit baja itu dari saling timpuk hantam. Alasannya mengapa, gak di kasih tahu hingga akhir.
Disini bibit romance antara Alek dan Deryn juga belum muncul (secara eksplisit) sampai menjelang akhir dari Behemoth. Suatu hal yang menurut saya cukup bagus karena memang dari pacing-nya sendiri berasa pas dan sesuai. Ada sedikit sebenarnya romance tapi itu dengan karakter lain dan sebentar walaupun berasa canggung.
Terlepas dari kekurangan fatalnya, Behemoth masih mampu membawakan petualangan dan perjalanan yang menarik untuk diikuti sehingga buku ini tidak hanya sekedar penyambung dalam trilogi buku, melainkan mampu memiliki daya tarik dalam isinya sendiri.
Sekarang ke buku terakhir.
Goliath
 |
Gak sebagus yang sebelumnya
tapi masih jauh lebih kece dibanding yang saya punya |
Kita akhirnya mencapai titik akhir dari petualangan Alek dan Deryn yang dimana persahabatan akan mekar menjadi cinta. Bersama, masih diatas “kapal” udara Leviathan, mereka menempuh benua asia untuk mengantarkan ilmuwan sinting, Nikola Tesla, dalam upaya mengakhiri perang untuk selamanya dengan senjata maha dashyat hasil ambisi, kreasi, dan ciptaannya, Goliath.
Saya bisa katakan ini adalah buku yang terbaik dari trilogi Leviathan. Plot memadat namun pacing masih tetap berjalan dengan cepat dan tepat. Dari segi penulisan pun menjadi lebih baik karena deskripsi yang diberikan lebih berwarna. Selain itu apa yang diceritakan juga terasa lebih menarik karena menampilkan lebih banyak sisi lain dari dunianya yang menarik seperti Jepang yang memanfaatkan dua teknologi tersebut sekaligus dengan harmoni dan Amerika Serikat yang secara geopolitik malah jadi terbelah akibat. Lalu adanya konflik-konflik selain dari apa yang dihadapkan pada karakter utama disini lebih banyak dari dua buku sebelumnya, membuat buku ini lebih terasa berisi dan menghibur.
Romance antara Aleksandar dan Dery pun akhirnya secara gamblang dimulai disini. Walaupun eksekusi awalnya terasa cukup klise dan agak berantakan, namun build-up dan eksekusi secara keseluruhan dapat dibilang bagus. Walaupun usia mereka masih 16-17 tahun, tidak ada disini ditunjukkan galau tanpa sebab ala remaja. Dasar masalah dari cinta antara kaum ningrat-jelata yang menjadi salah satu penghalang utama hubungan mereka disini bagusnya memiliki dasar yang baik melalui nasib dari ayah Alek.
Masalah yang saya temui disini malah ada di akhir cerita. Alasan klise dari aksi Alek merupakan salah satunya, tapi yang menjadi ganjalan terbesar adalah bagaimana Alek tiba-tiba merasa berat dengan perbuatannya tersebut, padahal dia sendiri sudah melakukannya pertama kali di buku Leviathan. Ya, mungkin perasaan berat hati itu muncul karena implikasi perbuatannya lebih besar daripada yang pertama. Selain itu, di salah satu bagian akhir cerita saa merasa ada sangat kurang dalam deskripsi dan narasinya. Terasa begitu terburu-buru bahkan sempat membuat saya mengenyitkan dahi karena bingung.
Aksi yang pas, nuansa politik yang lebih kental, sub-konflik yang lebih banyak dengan pembawaaan yang tepat, terlepas dari bagian akhirnya yang menurut saya cukup aneh dan tidak tereksekusi dengan baik telah membuat Goliath pantas menjadi buku terbaik dan penutup dari trilogi Leviathan.
 |
Oke, Scott Westerfield memang hebat memilih ilustratornya
Ilustrasi Keith Thompson gak sembarang kualitasnya |
Dan akhirnya, saya akan sedikit mengutarakan beberapa hal tentang trilogi secara keseluruhan atau elemen cerita yang muncul lebih dari satu buku.
Trilogi Leviathan ini memang buku yang menarik. Dia secara mengejutkan ekspetasi saya, tidak sedangkal yang saya kira. Walaupun trilogi Leviathan sama sekali tidak bisa dikatakan dalam juga. Teknologi darwinis yang sangat menarik yakni merekayasa mahluk tidak di telusuri implikasi sosialnya secara lebih mendalam selain telah membelah peradaban kepada dua sisi. Beruntung ada beberapa hal yang disinggung mengenai teknologi darwinis dalam penggunaannya sehingga aplikasi dalam cerita tidak sekedar menjadi “rule-of-cool” saja.
Berbicara soal “rule-of-cool”, disini ada satu masalah yang tidak terjawab hingga akhir cerita. Masalah tersebut adalah maksud dan tujuan yang sesungguhnya dari mahluk bernama loris. Awalnya mereka akan diperuntukkan sebagai barang diplomasi. Tapi mahluk sekecil mereka di waktu perang pastinya bukan mahluk yang menarik. Apalagi sepanjang cerita, walaupun ada beberapa yang membantu jalannya plot dan penyelesaian konflik, hanya mengulangi kata-kata yang pernah mereka dengar. Saya menunggu sampai akhir cerita apakah akan dijelaskan mereka punya keistimewaan tertentu yang membuat mereka layak menjadi alat diplomasi, tapi tetap tidak ada penjelasan.
Dari penulisan secara keseluruhan pun ringan, sehingga menurut saya pribadi novel ini gak akan memberatkan pembaca. Deskripsi yang diberikan hanya seada tanpa berlebihan. Pembawaannya konsisten dan mengalir, nyaris tanpa ada bagian cerita yang mengalami pace yang berlebih.
Lalu buku ini nampaknya dilengkapi oleh ilustrasi untuk menutupi kekurangan dari deskripsinya sederhana. Sebenarnya penggunaan ilustrasi dalam novel itu cukup menyulitkan karena butuh gaya dan kualitas yang bagus agar bisa pas dengan cerita yang disuguhkan. Kabar baik, karena ilustrasi yang dibawakan dalam trilogi Leviathan dapat memberikan rasa atmosfir PD I dengan pas dan sangat indah.
Tapi, hal yang membuat kekaguman terhadap buku ini cukup tinggi adalah bagaimana si penulis telah melakukan risetnya cukup baik. Ada beberapa detil kebudayaan masyarakat pada saat itu yang ditunjukkan dengan ciamik sepanjang cerita. Penulis juga bahkan memasukkan tokoh sejarah dan memberikan mereka peran yang pas sesuai dengan reimajinasi sejarah yang terjadi, lengkap dengan konflik-konflik sebenarnya yang pernah terjadi pada mereka.
Dari karakterisasi, Leviathan dapat dikatakan memiliki karakter yang ditulis dengan baik. Karakter dan sifat yang mereka tunjukkan dapat dikatakan sesuai dengan latar belakang dan zaman dimana mereka hidup, sehingga mereka bisa cukup unik untuk dibedakan satu sama lainnya. Baik Alek dan Deryn merupakan karakter yang menarik satu sama lain. Perkembangan yang mereka alami cukup bagus dan perubahannya terlihat walaupun ada beberapa yang terasa seperti dipaksakan karena kurangnya pendasaran konflik dari karakterisasi tersebut, terutama yang dialami oleh Alek. Selain dari mereka, sayangnya karakter sampingan tidak mendapat lebih banyak tempat dari cerita kecuali membantu mereka melewati atau memberi bumbu pada cerita. Padahal banyak dari karakter sampingan tersebut yang menarik.
Lalu plot dan cerita secara keseluruhan, walaupun setiap buku memiliki pacing yang tepat, semua kejadian dalam buku terjadi terlalu cepat. Mereka selalu diberikan konflik langsung setelah konflik akhir selesai, seolah mereka harus terus menunjukkan petualangan dan aksi sepanjang cerita. Mungkin ini terjadi karena dinamika perang yang terjadi. Tapi setidaknya, tidak ada keanehan atau plothole yang begitu tampak pada cerita.
Pada akhirnya buku ini cukup menghibur dan melebihi ekspetasi saya. Dapat dikatakan apa yang dimiliki buku ini sesungguhnya menjadikannya lebih pantas sebagai novel semua umur daripada YA. Baik anak-anak maupun orang dewasa pastinya akan terhibur. Tapi kurangnya ide-ide yang menarik dari pendalaman serta karakterisasi yang hanya berat pada kedua protagonis menjadi masalah tersendiri untuk saya selama membaca trilogi ini.
Kalau saja bukan karena Perdido Street Station yang saya baca dan
review sebelumnya, penilaian saya sama ketiga buku ini bakalan lebih tinggi lagi.
Sebelum ditutup, saya ingin nyinggung soal sampul itu. Sampul buku yang saya punya. Ya tuhan, siapa yang punya ide mengganti sampul gear dengan orang gitu? Terlalu tipikal YA banget. Konyolnya lagi di buku ketiga Behemot disitu yang laki-laki, saya tebak sebagai Alek, lebih tinggi dari si perempuan, saya duga itu Deryn, padahal di novel udah dikasih tahu secara eksplisit siapa yang lebih tinggi.
Dan satu hal soal judul. Saya tahu bahwa Leviathan, dan Behemoth adalah mahluk mistis yang namanya cukup terkenal. Leviathan si raksasa laut selalu bertarung dengan si raksasa darat Behemoth yang kemudian akan ditengahi oleh raksasa langit, Ziz. Tapi kayaknya Scott Westerfield kurang melakukan risetnya buat judul bukunya dan malah memakai nama Goliath, musuh dari David jadi entar bakalan ada novel keempat judulnya David.
Padahal analognya disini udah jalan semua loh. Leviathan adalah raksasa langit, Behemoth jadi raksasa lautan, dan terakhir, ciptaan si Tesla itu berada didaratan. Kalau dinamai Ziz lengkap sudah analognya tapi sayang malah dinamain Goliath.
Bonus dua sampul Leviathan dari Cina dan Rusia
SUMPAH, kenapa Sampul yang Amerika ampas begitu????!!!
Yak, cukup sampai sini review dan isi pikirannya saya sama buku steampunk ini.
hahahah … I feel you bro, karena dapet covernya yang kaya itu :)) moga2 klo ini diterjemahin di sini, kita bisa dapat yang versi hardcover XDmungkin ada alasan kenapa Om Scott-nya pake Goliath .. rasanya agak enggak mungkin klo dia orangnya rajin ngeriset, tapi kelewatan bagian Ziz-nya :vbtw, Goliath itu ciptaan Darwinist atau Clankers? klo diciptakan Tesla, berarti harusnya robot kan ya? #fansTesla-Ivon-
LikeLike
semoga aja sih dapet versi gear, bukan orang atau malah sampul yang labih abal-abaltapi kan rasanya gimana gitu karena alegorinya udah bener-bener pasGoliath itu Tesla Tower yang dibuat Up-To-Eleven, jadi itu menara bukan mecha elektrik raksasa yang bisa nembak plasma #fansTesla
LikeLike
Sebetulna… setau saia, Westerfeld bukan kurang riset untuk nama buku 3, Mas.Dia tadinya mau pake Ziz. Tapi krn kebanyakan orang kurang familiar sama itu dia bikin fan poll untuk titel buku 3. Banyakan fans pilih Goliath. Jadi itu bukan kurang riset kali. I call that being considerate. ^^Soal kenapa tiap etnis punya Walker kan ada alasannya. Buat upacara kultural. Dan dispute settlement. Jadi kalau dibilang “Walkernya ntar tabok2an, dong?” I believe that's the whole point of it. That's how they settle disputes in the ghetto.Lagipula, untuk mencegah tabok2an skala besar, bukanya ada hukum kalau walker nggak boleh dipersenjatai, selain walker milik Sultan? :3
LikeLike
Hua Mbak Luz muncul OwOYa sih, Ziz memang kurang terkenal tapi kan rasanya tetep aja kayakm namain anak kembar tiga May, June, terus yang ketiga namanya Sunny =,=kalau soal walker sebagai deterrent itu bisa dipercaya sesungguhnya cuma cara buatnya itu loh =,=walaupun gak punya senjata, tangan mereka masih cukup buat nabok prajurit atau ngebalikin Walker gajah kan :))
LikeLike
Humu, true soal May, June dan Sunny, tapi “consideration” adalah alasan yang sama legit-nya, dengan “idealism (in completing a set of names)” maka dalam hal ini saia nggak akan nyalahin Westerfeld.Dan itu… deterrent sama dispute settlement beda Mas XD. Setangkep saia sih, walker2 di ghetto Istanbul itu nggak dibuat massal. Mereka handmade, parts by parts, dalam waktu yang lama. Itu sebabnya resistance cuma punya segelintir walker dan keberadaannya yang segelintir itu diijinkan sama sultan–karena mereka nggak bisa mass-produce, dan dilarang bawa senjata. Hal ini menyebabkan monopoli penggunaan kekuatan tetap berada di tangan Sultan. Makes sense. Soal nabok prajurit pun, setau saia itu ga lazim terjadi. Hampir semua walker selalu dihadapi sama walker, dan mereka nggak semudah itu balikin walker gajah. Makanya di Behemoth mereka harus nunggu ada kerusuhan di Istanbul dulu–supaya pasukan sultan teralih–baru bisa ngerontokin Tesla Tower. Terakhirnya pun, walker resistance ancur semua. Padahal udah dibantuin Orient Express, dan lawannya pun nggak ada seperberapa dari seluruh armada walker Istanbul, kan? Hehe~
LikeLike
Saya sih ngiranya deterrent karena kalau pada punya penggeplak raksasa masing-masing, gak bakalan ada yang berani mulai kerusuhan etnis >__>Nah, sebenarnya yang saya pertanyakannya itu gimana mereka membuatnya. Walaupun part-by-part, walkernya mereka itu bagus loh apalagi Djinn yang punya pelontar sama walker nya Zaven yang punya banyak kaki. Mungkin sangat nitpicky tapi kalau bisa dibuat semudah itu tanpa bantuan apa-apa.Lain lagi urusannya kalau Sultan sengaja ngasih setiap etnis itu walker (atau setidaknya bahan dan skematik) untuk walker-walker masing dalam upaya ngelobi dengan ngebatasi kalau mereka gak boleh bersenjata biar mereka tenang dan berusaha ngeberontak. Kalau itu, sangat bisa diterima alasannya. Walaupun jadi senjata makan tuan memang XDbentar, apa mereka memang dikasih Sultan untuk dispute settlement antar etnis agar tercipta deterrent? =w=?
LikeLike
Gimana mereka membuatnya? Sheer craftsmanship and ingenuity, of course. Humans are known for those. :3 That's why we have the pyramids.Dan golem-golem itu nggak dikasi oleh Sultan, atau merupakan usaha lobi, atau deterrent. Itu seperti Jeepney di Filipina. Mereka bikin itu sebagiannya karena cultural identity. Jangan lupa, paradigma IR nggak cuma realisme doang lho~
LikeLike